BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk
yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi
fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek
instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa
dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak
terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak
akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat
instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman
keras, atau menggunakan narkoba dan main judi)
[1]
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti
pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila
nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan
mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya
adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang
tidak sesuai dengan ajaran agama.[2]
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Agama?
2. Apa pengertian Manusia?
3. Apa hubungan Agama dan Manusia
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian Agama
2.
Untuk mengetahui pengertian manusia
3.
Untuk mengetahui hubungan Manusia dan Agama
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama
Dari segi
Istilah mempunyai 2 macam pengertian yaitu pengertian secara asal usul kata
(etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi). Pengertian Agama
menurut bahasa ada dua macam :
a.
Agama
berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan : haluan, peraturan,
jalan, atau kebaktian kepada Tuhan.
b.
Pendapat
lain mengatakan: bahwa Agama itu sebenarnya terdiri dari dua buah perkataan
yaitu “A” berarti tidak dan “GAMA” berarti kacau balau, tidak teratur jadi
Agama berarti : tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup
beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan, atau jalan yang
telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan.
Istilah lain bagi agama ini yang berasal dari bahasa
arab, yaitu الدّين yang berarti: hukum,
perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan, dan pembalasan.
Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa “الدّين”
Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui
upacara, penyembahan dan permohonan dan membentuk sikap hidup manusia
berdasarkan ajaran agama itu.[3]Moh. Daud
Ali, 2002:40
Agama
merupakn tuntunan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan. Agama
dalam islam adalah cara hdiup, cara berfikir, berdialogi dan bertindak. Agama
meliputi sistem-sistem politik, ekonomi, sosial, undang-undang dan
ketatanegaraan. Agama berperan dalam membentuk pribadi insan kamil disamping
juga membentuk masyrakat yang ideal.[4]
Agama
merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti bahwa
semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan polapola perilaku yang
memenuhi syarat untuk disebut „agama‟ (religious).[5]
Ellis,tokoh
terapi kognitif behavioral menulis dalam Journal of Counseling andClinical
Psychology terbitan 1980. Agama yang dogmatis, ortodoks dan taat(yang
mungkin kita sebut sebagai kesalehan) bertoleransi sangat signifikan dengan
gangguan emosional orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai
kemestian, keharusan dan kewajiban yang absolut. Orang sehat secara emosional
bersifat lunak, terbuka, toleran dan bersedia berubah, sedang orang yang sangat
relegius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran dan tidak mau berubah, karena
itu kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan
gangguan emosional.[6]
Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur, agama terdiri
atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka, akan tetapi karena agama
juga mengandung komponen ritual maka sebagian agama tergolong juga dalam
struktur sosial.[7]
Ensiklopedi
Islam Indonesia menyebutkan, bahwa agama.[8] berasal
dari kata Sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab
suci golongan Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama „Agama‟). Kata itu
kemudian menjadi dikenal luas dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi dalam
penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada kitab suci tersebut tetapi
dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh
masyarakat, sebagaimana kata dharma (juga berasal dari bahasa
Sansekerta). Lepas dari masalah pendapat mana yang benar, masyarakat beragama
pada umumnya memang memandang agama[9]
itu sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-temurun oleh
masyarakat, agar hidup mereka menjadi tertib, damai dan tidak kacau.[10]
B.
Pengertian Manusia
Hakikat Manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu
memhai manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak
berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya
sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[11]
Yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat
manusia seperti ini adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’al-dzatiyyat
(prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip
ini berbunyi:”sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri.”[12] Segala
sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan
kebedaannya dari yang lain. Apabila tidak ada identitas esensial, yang
tergambar di dalam pikiran filosof adalah dunia tanpa konsep sama sekali.
Quraish Shihab mengutip dari Alexis Carrel dalam “Man
the Unknown”, bahwa banyak kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat
manusia, karena keterbatasan-keterbatasan manusia sendiri.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk
pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan ann-nas.
Kata basyar disebut
dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar
menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]:
47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan,
minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan
sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan
khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzab [3]: 72), kedua al-insan dihubungankan dengan predisposisi negatif dalam diri
manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al-Ma’arij [70]: 19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan
proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS Al-Hijr
[15]: 28-29). Semua konteks al-insan ini
menunjuk pada sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas
yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai
makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman
padahal sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]: 8).[13]
Dari uraian ketiga makna untuk manusia tersebut,
dapatdisimpulkan bahwa manusia adalah mahkluk biologis,psikologis dan sosial.
Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak maupun kewajibannya secara
seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum yang berlaku (sunnatullah).[14]
C.
Hubungan Manusia Dengan Agama
Sekurang- kurangnya ada tiga alasan
yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama.[15]
Ketiga alasan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut yaitu:
1.
Fitrah
manusia. Dalam konteks hal ini di antara ayat al- Qur’an dalam surat ar- Rum
ayat 30 bahwa ada potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia. Dalam hal
ini dapat ditegaskan bahwa insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari
Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai
ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibanding dengan makhluk lainnya sudah
dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang
terpancar dari ciptaan-Nya. Lebih jauh Musa Asy’ari dalam buku Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an yang dikutip oleh Nata bahwa
pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk
menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada
kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam
kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang
digunakan dalam al- Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya
yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup yang kemudian
mati.
2.
Kelemahan
dan kekurangan manusia. Menrut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an,
nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung
serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi
dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian
lebih besar. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat
al-Syams ayat 7-8, bahwa “ Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah
mengilhamkan kepadanya kafasikan dan ketaqwaan”.
3.
Tantangan
manusia. Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama karena manusia
dalam kehidupannya menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari dalam
amupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan
bisikan setan (lihat QS 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat
berupa rekayasa dan upaya- upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja
berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan
biaya, tenaga dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari tuhan. Kita
misalkan membaca ayat yang berbunyi “ Sesungguhnya orang- orang kafir itu
menafkahkan harta mereka untuk menghalangi orang dari jalan Allah (QS
al-Anfal,36).
Agar umat
islam bisa bangkit menjadi umat yang mampu menwujudkan misi “رحمة للعالمين” maka seyogyanya mereka memiliki pemahaman
secara utuh (Khafah) tentang islam itu sendiri umat islam tidak hanya memiliki
kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek
(ilmu dan teknologi).[16]
Mereka diharapkan mampu mengintegrasikan antara pengamalan ibadah dengan makna
esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti: pengendalian diri, sabar, amanah, jujur, sikap toleran dan saling
menghormati, tidak suka menyakiti atau menghujat orang lain. Dapat juga
dikatakan bahwa umat islam harus mampu menyatu padukan antara mila-nilai ibadah
mahdlah (حبل من الله) dengan
ibadag ghair mahdlah (حبل من النّاس)
dalam rangka membangun “بلدة طيّبة و ربّ غفور”
Negara yang subur makmur dan penuh pengampunan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
·
Syamsul,
Yusuf. 2003. Psikologi Belajar Agama. Bantung: Pustaka Bani Qurais.
·
Nata,
Abuddin. 2011. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
·
Syukur,
Amin. 2010. Pengantar Studi Islam. Semarang: PUSTAKA NUUN.
·
Ahmad Supadie, Didiek. 2011. Pengantar Studi Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers).
·
Ishomuddin.
Pengantar sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia & UMM Press.
·
Rakhmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama (Jakarta
: Rajawali).
·
Ahmadi, Abu. 1991. Perbandingan
Agama, (Jakarta : Rinaka Cipta).
·
Ali , Mohammad
Daud. 2002. Pendidikan Agama Islam, , (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Cetakan Ke-1,).
·
Bakar Atjeh , Abu. 1968. Mutiara Akhlak 1,(Jakarta: Bulan
Bintang ).
·
Hasan, Ali . 1994/1995. Agama Islam. (Jakarta:
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam).
·
Yasir Nasution, Muhammad.1996. Manusia Menurut
Al-Ghazali. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[2] Ali Hasan, Agama
Islam. (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
1994/1995). Hlm: 09
[3]Mohammad
Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, , (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan
Ke-1, 2002). Hlm 40
[4] Abu Ahmadi, Perbandingan
Agama, (Jakarta : Rinaka Cipta, Jakarta 1991), hlm 17
[5]
Ada
berbagai macam definisi agama. Ada kata agama, din (bahasa Arab),
religion
(bahasa Inggris), dan ada religie
(bahasa Belanda). Ada yang berpendapat bahwa kata agama
berasal dari bahasa Sansekerta : a
berarti tidak, dan gama berarti kacau, kocar-kacir. Jadi agama
berarti tidak
kacau, kocar-kacir, melainkan teratur. Pendapat lain, walaupun dari segi
asal-usul kata sependapat, berbeda pendapat dari segi akar katanya. Agama berasal
dari akar kata gam yang berarti pergi, kemudian diberi awalan a sehingga
menjadi agam yang berarti kebalikan dari pergi, yaitu datang, kalau
diberi akhiran a maka menjadi agama yang mempunyai arti
kedatangan. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa agama berasal dari kata a yang
berarti tidak, dan gam yang berarti pergi. Jadi agama berarti
tidak pergi. Agama dalam bahasa Arab adalah din yang menurut seorang
ulama Islam berarti : “aturan-aturan yang berasal dari Tuhan yang harus ditaati
dan dikerjakan oleh manusia demi kebahagiaan manusia itu sendiri baik di dunia
maupun di akhirat nanti”. Jadi mesti merupakan aturan Tuhan. Lihat : Endang
Sarfuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya
: Bina Ilmu, 1987) hlm. 122-123
[6]
Jalaludin Rakhmad, Psikologi
Agama (Jakarta : Rajawali, 1996) hlm. 154-155
[7]
Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta : Ghalia Indonesia & UMM Press,
2002)
hlm. 29.
[8] Secara teologis,
ulama Islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok.
Pertama adalah „agama wahyu‟, yakni agama yang diwahyukan Tuhan kepada Rasul-
Nya yang banyak, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa
dan terakhir kepada Nabi Muhammad. Keyakinan sentral dalam agama wahyu adalah tauhidullah
(mengesakan Allah) yaitu mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan hanya
kepada-Nya saja ubudiah serta ketaatan ditujukan secara langsung, yang
kedua adalah „agama bukan wahyu‟ yakni agama-agama yang muncul sebagai hasil
budaya khayal, perasaan atau pikiran manusia. Agama-agama yang mempunyai akidah
yang bertentangan dengan akidah tauhidullah dapat ditegaskan sebagai
agamabukan wahyu. Ibid., hlm. 31-32.
[9] Agama merupakan
salah satu bidang yang tidak dapat terpisahkan dalam perikehidupan susila
manusia, hidup beragama sudah menjadi kewajiban erat bagaikan hubungan makhluk
dengan udara, melalui ajaran-ajaran agama orang dituntun untuk mengenal azas
ketuhanan, mengerti ketuhanan dan melaksanakan hidup sesuai norma-norma
ketuhanan tidak terhitung banyaknya harta dan tenaga telah dikerahkan untuk
keperluan agama demi tujuan satu agar semua manusia menuntut hidup
berketuhanan. Lihat : Depag RI, Tata Cara Peribadatan dan Peristiwa Keagamaan
(Jakarta : Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1981) hlm. 66
[10]
Ishomuddin, Pengantar..., op.cit.,
hlm. 30.
[11]
Hakikat berasal
dari kata Arab al-haqiqat, yang dapat berarti kebenaran dan esensi.
Dalam tulisan ini yang dikehendaki adalah dalam arti esensi. Dalam pengertian
ini, al-jurjani mendefinisikanya dengan “yang menyebabkan sesuatu menjadi
dirinya”. Ibnu sina membaut definisi yang tidak berbeda maknanya dengan yang
dibuat alj-jurjani, yaitu “kekhususan eksistensi sesuatu yang menyebabkannya
ada karenanya.’kata Arab lainnya yang juga digunakan menunjuk esensi adalah al-dzat
dan al-mahiya. Al-mahiyat, biasanya digunakan sesuatu dengan
menyampingkan perhatian dari wujud lahimnya.
[12] Al-Ghazali, Mi’raj
al-salikin,op. Cit., hlm.26.
[13] Didiek Ahmad
Supadie,dkk. Pengantar Studi Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers,2011), hlm: 137-138
[14] Prof. Dr. H.M.
Amin Syukur,MA , Pengantar Studi Islam, (Semarang: Pustaka Nuun, 2010), hlm: 9
[15]
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),
2011