Minggu, 12 Maret 2017

MAKALAH hubungan Manusia dan Agama



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi) [1]
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Agama?
2.      Apa pengertian Manusia?
3.      Apa hubungan Agama dan Manusia
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Agama
2.      Untuk mengetahui pengertian manusia
3.      Untuk mengetahui hubungan Manusia dan Agama


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama
Dari segi Istilah mempunyai 2 macam pengertian yaitu pengertian secara asal usul kata (etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi). Pengertian Agama menurut bahasa ada dua macam :
a.       Agama berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan : haluan, peraturan, jalan, atau kebaktian kepada Tuhan.
b.      Pendapat lain mengatakan: bahwa Agama itu sebenarnya terdiri dari dua buah perkataan yaitu “A” berarti tidak dan “GAMA” berarti kacau balau, tidak teratur jadi Agama berarti : tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan, atau jalan yang telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai  oleh semangat kebaktian kepada Tuhan.
Istilah lain bagi agama ini yang berasal dari bahasa arab, yaitu الدّين yang berarti: hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan, dan pembalasan. Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa “الدّينAgama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan  mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara, penyembahan dan permohonan dan membentuk sikap hidup manusia berdasarkan ajaran agama itu.[3]Moh. Daud Ali, 2002:40
Agama merupakn tuntunan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan. Agama dalam islam adalah cara hdiup, cara berfikir, berdialogi dan bertindak. Agama meliputi sistem-sistem politik, ekonomi, sosial, undang-undang dan ketatanegaraan. Agama berperan dalam membentuk pribadi insan kamil disamping juga membentuk masyrakat yang ideal.[4]
Agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan polapola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut „agama‟ (religious).[5]
Ellis,tokoh terapi kognitif behavioral menulis dalam Journal of Counseling andClinical Psychology terbitan 1980. Agama yang dogmatis, ortodoks dan taat(yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan) bertoleransi sangat signifikan dengan gangguan emosional orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan dan kewajiban yang absolut. Orang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran dan bersedia berubah, sedang orang yang sangat relegius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran dan tidak mau berubah, karena itu kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.[6] Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur, agama terdiri atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka, akan tetapi karena agama juga mengandung komponen ritual maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial.[7]
Ensiklopedi Islam Indonesia menyebutkan, bahwa agama.[8] berasal dari kata Sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama „Agama‟). Kata itu kemudian menjadi dikenal luas dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi dalam penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada kitab suci tersebut tetapi dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh masyarakat, sebagaimana kata dharma (juga berasal dari bahasa Sansekerta). Lepas dari masalah pendapat mana yang benar, masyarakat beragama pada umumnya memang memandang agama[9] itu sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-temurun oleh masyarakat, agar hidup mereka menjadi tertib, damai dan tidak kacau.[10]

B.     Pengertian Manusia
Hakikat Manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu memhai manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[11]
Yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia seperti ini adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip ini berbunyi:”sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri.”[12] Segala sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain. Apabila tidak ada identitas esensial, yang tergambar di dalam pikiran filosof adalah dunia tanpa konsep sama sekali.
Quraish Shihab mengutip dari Alexis Carrel dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia, karena keterbatasan-keterbatasan manusia sendiri.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan ann-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]: 47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzab [3]: 72), kedua al-insan dihubungankan dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al-Ma’arij [70]: 19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS Al-Hijr [15]: 28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman padahal sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]: 8).[13]
Dari uraian ketiga makna untuk manusia tersebut, dapatdisimpulkan bahwa manusia adalah mahkluk biologis,psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak maupun kewajibannya secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum yang berlaku (sunnatullah).[14]

C.    Hubungan Manusia Dengan Agama
Sekurang- kurangnya ada tiga alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama.[15] Ketiga alasan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut yaitu:
1.      Fitrah manusia. Dalam konteks hal ini di antara ayat al- Qur’an dalam surat ar- Rum ayat 30 bahwa ada potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia. Dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibanding dengan makhluk lainnya sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Lebih jauh Musa Asy’ari dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an yang dikutip oleh Nata bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan dalam al- Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup yang kemudian mati.
2.      Kelemahan dan kekurangan manusia. Menrut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat al-Syams ayat 7-8, bahwa “ Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kafasikan dan ketaqwaan”.
3.      Tantangan manusia. Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama karena manusia dalam kehidupannya menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari dalam amupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (lihat QS 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya- upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari tuhan. Kita misalkan membaca ayat yang berbunyi “ Sesungguhnya orang- orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi orang dari jalan Allah (QS al-Anfal,36).
Agar umat islam bisa bangkit menjadi umat yang mampu menwujudkan misi “رحمة للعالمين” maka seyogyanya mereka memiliki pemahaman secara utuh (Khafah) tentang islam itu sendiri umat islam tidak hanya memiliki kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi).[16] Mereka diharapkan mampu mengintegrasikan antara pengamalan ibadah dengan makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: pengendalian diri, sabar, amanah, jujur, sikap toleran dan saling menghormati, tidak suka menyakiti atau menghujat orang lain. Dapat juga dikatakan bahwa umat islam harus mampu menyatu padukan antara mila-nilai ibadah mahdlah (حبل من الله) dengan ibadag ghair mahdlah (حبل من النّاس) dalam rangka membangun “بلدة طيّبة و ربّ غفور” Negara yang subur makmur dan penuh pengampunan Allah SWT.









DAFTAR PUSTAKA
·         Syamsul, Yusuf. 2003. Psikologi Belajar Agama. Bantung: Pustaka Bani Qurais.
·         Nata, Abuddin. 2011. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
·         Syukur, Amin. 2010. Pengantar Studi Islam. Semarang: PUSTAKA NUUN.
·         Ahmad Supadie, Didiek. 2011. Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers).
·         Ishomuddin. Pengantar sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia & UMM Press.
·         Rakhmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama (Jakarta : Rajawali).
·         Ahmadi, Abu. 1991. Perbandingan Agama, (Jakarta : Rinaka Cipta).
·         Ali , Mohammad Daud. 2002. Pendidikan Agama Islam, , (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-1,).
·         Bakar Atjeh , Abu.  1968. Mutiara Akhlak 1,(Jakarta: Bulan Bintang ).
·         Hasan, Ali . 1994/1995. Agama Islam. (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam).
·         Yasir Nasution, Muhammad.1996. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


[1] Abu. Bakar Atjeh, Mutiara Akhlak 1,(Jakarta: Bulan Bintang ,1968), hlm: 23-24
[2] Ali Hasan, Agama Islam. (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1994/1995). Hlm: 09
[3]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, , (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-1, 2002). Hlm 40
[4] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta : Rinaka Cipta, Jakarta 1991), hlm 17
[5] Ada berbagai macam definisi agama. Ada kata agama, din (bahasa Arab), religion
(bahasa Inggris), dan ada religie (bahasa Belanda). Ada yang berpendapat bahwa kata agama
berasal dari bahasa Sansekerta : a berarti tidak, dan gama berarti kacau, kocar-kacir. Jadi agama
berarti tidak kacau, kocar-kacir, melainkan teratur. Pendapat lain, walaupun dari segi asal-usul kata sependapat, berbeda pendapat dari segi akar katanya. Agama berasal dari akar kata gam yang berarti pergi, kemudian diberi awalan a sehingga menjadi agam yang berarti kebalikan dari pergi, yaitu datang, kalau diberi akhiran a maka menjadi agama yang mempunyai arti kedatangan. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa agama berasal dari kata a yang berarti tidak, dan gam yang berarti pergi. Jadi agama berarti tidak pergi. Agama dalam bahasa Arab adalah din yang menurut seorang ulama Islam berarti : “aturan-aturan yang berasal dari Tuhan yang harus ditaati dan dikerjakan oleh manusia demi kebahagiaan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat nanti”. Jadi mesti merupakan aturan Tuhan. Lihat : Endang Sarfuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya : Bina Ilmu, 1987) hlm. 122-123
[6] Jalaludin Rakhmad, Psikologi Agama (Jakarta : Rajawali, 1996) hlm. 154-155
[7] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta : Ghalia Indonesia & UMM Press,
2002) hlm. 29.
[8] Secara teologis, ulama Islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok. Pertama adalah „agama wahyu‟, yakni agama yang diwahyukan Tuhan kepada Rasul- Nya yang banyak, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa dan terakhir kepada Nabi Muhammad. Keyakinan sentral dalam agama wahyu adalah tauhidullah (mengesakan Allah) yaitu mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan hanya kepada-Nya saja ubudiah serta ketaatan ditujukan secara langsung, yang kedua adalah „agama bukan wahyu‟ yakni agama-agama yang muncul sebagai hasil budaya khayal, perasaan atau pikiran manusia. Agama-agama yang mempunyai akidah yang bertentangan dengan akidah tauhidullah dapat ditegaskan sebagai agamabukan wahyu. Ibid., hlm. 31-32.
[9] Agama merupakan salah satu bidang yang tidak dapat terpisahkan dalam perikehidupan susila manusia, hidup beragama sudah menjadi kewajiban erat bagaikan hubungan makhluk dengan udara, melalui ajaran-ajaran agama orang dituntun untuk mengenal azas ketuhanan, mengerti ketuhanan dan melaksanakan hidup sesuai norma-norma ketuhanan tidak terhitung banyaknya harta dan tenaga telah dikerahkan untuk keperluan agama demi tujuan satu agar semua manusia menuntut hidup berketuhanan. Lihat : Depag RI, Tata Cara Peribadatan dan Peristiwa Keagamaan (Jakarta : Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1981) hlm. 66
[10] Ishomuddin, Pengantar..., op.cit., hlm. 30.
[11] Hakikat berasal dari kata Arab al-haqiqat, yang dapat berarti kebenaran dan esensi. Dalam tulisan ini yang dikehendaki adalah dalam arti esensi. Dalam pengertian ini, al-jurjani mendefinisikanya dengan “yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya”. Ibnu sina membaut definisi yang tidak berbeda maknanya dengan yang dibuat alj-jurjani, yaitu “kekhususan eksistensi sesuatu yang menyebabkannya ada karenanya.’kata Arab lainnya yang juga digunakan menunjuk esensi adalah al-dzat dan al-mahiya. Al-mahiyat, biasanya digunakan sesuatu dengan menyampingkan perhatian dari wujud lahimnya.
[12] Al-Ghazali, Mi’raj al-salikin,op. Cit., hlm.26.
[13] Didiek Ahmad Supadie,dkk. Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), hlm: 137-138
[14] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur,MA , Pengantar Studi Islam, (Semarang: Pustaka Nuun, 2010), hlm: 9
[15] Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2011
[16] Yusuf Syamsul, Psikologi Belajar Agama. (Bandung: Pustaka Bani Qurais, 2003.) hlm: 240