Minggu, 12 Maret 2017

MAKALAH I’JAZ AL-QUR’AN (LUGHAWI)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di dunia yang begitu luas ini, Allah SWT menciptakan berbagai makhluk, gunung-gunung yang besar, lautan yang besar dan berombak dan samudera yang luas. Demikianlah Allah menciptakan alam semesta ini atas kuasaNya dan kepada manusia, Allah memberikan beberapa keistimewaan. Di antaranya adalah kemampuan berpikir yang digunakan untuk membukakan rahasia-rahasia unsur-unsur kekuatasn yang tersembunyi di alam ini.
Begitu pula para nabi yang di utus oleh Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia terhadap pesan dan misi yang dibawa oleh Nabi. Dan mukjizat itu selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap nabi (Harun Sihab, dalam Rosihon Anwar, 2009:9). Namun apakah suatu mukjizat itu dapat ditandingi?
Berdasarkan alasan di atas. maka makalah ini membahas topik tentang i’jaz Al-qur’an. Dimana akan dijelaskan mengenai dasar pembahasan i’jaaz Al-qur’an dan keindahan dari segi-segi kemukjizatan Al-qur’an.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian I’jaaz Al-qur’an ?
2.      Bagaiaman Keaspekkan Bahasa Alquran (I’jaz Lughawi) ?
3.      Bagaimana Ketinggian Uslub (Gaya Bahasa)Nya ?

C.    Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui arti i’jaaz Al-qur’an, aspek-aspek bahasa alquran dan uslub (gaya bahasa).


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian I’jaz Al-Qur’an
Dari segi bahasa, kata i’jaz, berasal dari kata a’jaza, yu’jizu, i’jaz, yang berarti melemahkan atau memperlemah. Juga dapat berarti menetapkan kelemahan.
Secara normatif, i’jaz adalah ketidakmampuan seorang melakukan sesuatu yang merupakan lawan dari ketidakberdayaan. Oleh karena itu, apabila kemukjizatan itu telah terbukti, maka nampaklah kemampan mukjizat. Sedang yang dimaksud dengan i’jaz, secara terminologi ilmu al-qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut: Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan: I’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi s.a.w.-dalam pengakuan orang lain-sebagai seorang rasul utusan Allah SWT. Dengan menampakkan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginnya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.[1]
Sedangkan mukjizat adalah perkara luar biasa yang disertai dengan tantangan yang tidak mungkin dapat ditandangi oleh siapapun dan kapanpun.[2]
Muhammad Bakar Ismail menegaskan: Mukjizat adalah”Perkara luar biasa yang disertai –dan diikuti dengan tantangan yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada Nabi-nabi-Nya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa yang diembannya, yang bersumber dari Allah SWT.[3]
Muhammad Ali- al-Shabuniy mengemukakan: I’jaz ialah: menetapkan kelemahan manusia baik secara kelompok maupun bersama-sama untuk menandingi hal yang serupa dengannya, maka Mukjizat merupakan bukti yang datangnya dari Allah SWT. Yang diberikan kepada hamba-Nya untuk memperkuat kebenaran misi kerasulan dan kenabiannya.[4]

Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa antara i’jaz dan mukjizat itu adalah dapat dikatakan seperti, yakni melemahkan. Hanya saja pengertian i’jaz di atas mengesankan batasan yang lebih bersifat spesifik, yaitu hanya al-Qur’an. Sedangkan pengertian mukjizat, menegaskan batasan yang lebih luas, yakni bukan hanya berupa al-Qur’an, tetapi juga perkara-perkara lain yang ridak mampu dijangkau oleh segala daya dan kemampuan manusia secara keseluruhan. Ini sebagai salah satu bukti kebenaran misi kerasulan yang dibawanya itu. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka yang berpaling dari kebenaran yang dibawa oleh para Rasul Allah tersebut.[5]
Suatu riwayat Rasullullah s.a.w sendiri juga menggunakan al-Qur’an untuk menentang dan menantang orang-orang Arab yang pada waktu itu memiliki kemampuan yang amat tingi dalam bidang sastra dan retorika. Namun tidak seorang pun dari mereka yang mampu menjawab dan menandingi, apalagi mengungguli tantangan itu. Ini semua menunjukkan bahwa al-Qur;an bukanlah perkataan manusia melainkan bersumber dari Allah S.W.T. sekaligus merupakan mukjizat terbesar bagi rasul-Nya, Muhammad s.a.w. tantangan al-qur’an yang dimaksud ialah mencakup, baik dari segi susunan, retorika ataupun sendiri melalui tiga taha dalam formulasi yag berbeda-beda, yaitu:[6]
Al-Qur’an telah mencapai puncak yang tertinggi dalam memuat kan i’jaz bahasanya, sehingga:
1.      Pakar-pakar bahasa Arabpun jadi lemah menghadapinya.
2.      Membisukan lidah pakar ilmu bayaan.
3.      Pakar-pakar penyair dan natsar jadi keheran-heranan menghadapinya.
4.      Akal merasa heran dan dahsyat melihat susunan kalimat yang memukau.
5.      Terhenti akal berpikir menghadapi ungkapannya.



B.     I’jaz Lughawi (Aspek Bahasa) Alquran
Kemukjizatan Alquran dari segi bahasa tidak diragukan lagi, terbukti hingga kini tidak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan ushulubnya. Kemukjizatan Alquran dari segi bahasa ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya :[7]
1.      Keindahan susunan ayat-ayatnya
Alquran yang diturunkan selama kurang lebih 23 tahun, dan sebagian ayat-ayatnya diturunkan berdasarkan peristiwa dan latar belakang tertentu, ternyata rangkain ayat-ayatnya bisa tersusun rapi secara sitematis, serasi, utuh, dan tidak terdapat pertentangan. Keteraturan dan kesinambungan susunan membuat seseorang tidak akan menduga bahwa ayat-ayatnya diturunkan secara terpisah-pisah dan terpotong-potong. Keindahan susunan Alquran meliputi :
2.      Kesesuaian antara ayat dengan ayat
Setiap ayat dalam Alquran mempunyai korelasi dengan ayat sebelumnya, seperti muqabalah (kata yang bertolak belakang) antara   sifat-sifat orang mukmin dengan sifat-sifat orang musyik, ancaman bagi mereka dan janji bagi yang lainnya, ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat disebut setelah ayat-ayat yang berkaitan dengan azab, dan sebagainya. Contohnya :
a. Allah berfirman :
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلاُ وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ { التوبة : 82 }
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang mereka selalu kerjakan.” (QS. At-Taubah : 82).
b. Allah berfirman :
000 وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ  { الأعراف : 157}  
“Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka apa yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157).
c. Allah berfirman :
... بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ { الحديد : 13}
“Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al-Hadid : 13)
d. Allah berfirman :
... الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ 0الرَّحْمَانِ الرحِيمِ   
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah : 2-3).
Imam Alqurthubi berkata : “Allah swt.” diri-Nya dengan ‘ar-rahman ar-rahim’ setelah ‘rabbul ‘alamien’, karena di dalam pensifatan diri-Nya dengan ‘rabbul ‘alamien’ terdapat tarhieb (peringatan) yang dihubungkan dengan ‘ar-rahman ar-rahim’ karena terkandung di dalamnya terghieb (anjuran), supaya bersatu antara peringatan dari Allah dan dorongan  kepada-Nya, sehingga lebih membantu dalam menataati-Nya.” (Tafsir     Al-Qurthubi, 1 : 139)[8]
3.      Kesesuaian antara surat dengan surat
Seperti surat-surat yang mengandung kata-kata ‘al-hamdu’:
a. Al-hamdu yang berkaitan dengan zharf makan (tempat). Contonya :
Allah berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأََرْضَ { الأنعام : 1}
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi...” (QS. Al-An’am : 1)
Allah berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ { سبأ : 1}
‘Segala puji bagi Allah Yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi...”(QS. Saba : 1)
b. Al-hamdu sebagai pembuka Alquran. (Tafsir Ibnu Katsir I : 3)
Contohnya :
Allah berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَانِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ { الفاتحه 2-4 }
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah:      2-4)
Allah berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا { الكحف : 31 }
“Segala puji bagi Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada hambanya-Nya... (QS. Al-Kahfi : 1)[9]
4.      Keserasian antara pembuka surat dan penutupnya
Seperti surat (28) Al-Qashash : Surat ini diawali oleh kisah Nabi Musa yang mengalami aneka rupa cobaan dalam menghadapi kekejaman Fir’aun. Kemudian diakhiri dengan hiburan dari Allah kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang selalu disakiti, diejek, dan diusir oleh orang-orang musyik Mekkah dengan menerangkan bahwa          orang-orang yang beriman itu akan menerima cobaan atas keimanan kepada nabi mereka, seperti yang dialami oleh Nabi Musa dan Bani Israil.
5.      Kesesuaian kandungan suatu surat dengan surat yang lain
a)      Dalam surat Quraisy Allah mengatakan bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, maka dalam surat Al-ma’un Allah mencela orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi maka orang miskin.
b)      Dalam surat Quraisy Allah memerintahkan manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya maka dalam surat Al-ma’un Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan riya.
6.      Keserasian bunyi huruf Akhir (bersajak)
a.       Huruf-huruf yang sejenis, seperti :
1.      (QS. Ath-Thur : 1-4)

وَالطُّورِ . وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ . فِي رَقٍّ مَنْشُورٍ . وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ { الطور : 1-4}
2.      (QS. An-Nas : 1-6)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ . مَلِكِ النَّاسِ . إِلَهِ النَّاسِ . مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ . الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ . مِنْ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ { الناس : 1-6}
b.      Huruf-huruf yang saling berdekatan, seperti :
(QS. Al-Fatihah : 3-4)
الرَّحْمَانِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ . { الفاتحه : 3-4}
Karena dekatnya huruf mim dengan nun dalam akhir kata.
c.       Dua kata yang sama dalam wazan dan huruf-huruf sajaknya, seperti
(QS. Al-Ghasyiah : 13-14)
وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ . وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ { الغاشية : 15-16}
d.      Kata yang sama dalam penggalan kalimat, seperti ;[10]
(QS. Al-Ghasyiah 15-16)
وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ . وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ { الغاشية 15-16}

C.    Ketinggian Uslub (Gaya Bahasa)Nya
Para ulama sepakat bahwa Alquran memiliki uslub yang tinggi.
Uslub Alquran memilki keistimewaan yang tidak akan didapati pada omongan manusia.
Di antara keistimewaan uslub Alquran ialah :
·         Keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-hurufnya ketika mendengar harakat dan sukunnya, madd dan gunnah-nya, wahsal dan saktah-nya, sehingga telinganya tidak pernah merasa bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.
·         Keragaman khitab-nya (pengungkapan kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak), yang menyebabkan berbagai orang golongan manusia dengan berbagai tingkat intelektualitas dapat memahami kitab itu sesuai tingkatan akalnya, sehingga masing-masing dari mereka memandangnya sesuai dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan ahli.
·         Memuaskan akal dan menyenangkan perasaan, oleh karena Alquran dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara berimbang. Kekuatan fikir tidak menindas kekuatan rasa dan kekuatan rasa pun tidak mematikan kekuatan fikir.
·         Memiliki fashahah (ketepatan dalam pilihan kata, baik lafalnya, intonasi, dan sebagainya), serta mengandung balaghah. (kefasihan lidah).[11]
Fashahah dan balaghah Alquran ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
A.    Majaz (kiasan), yaitu arti kata yang bukan sebenarnya.
Contohnya :
·         Allah berfirman:
...وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَا نًا... { الأنفال : 2}
“Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya terhadap mereka, ayat-ayat itu menambah keimanan mereka.” (QS. Al-Anfal:2).
Dalam ayat, tersebut, kata ‘tambahan’ dinisbahkan kepada ayat, padahal semestinya dinisbahkan kepada iman orang mukmin yang bertambah karena mendengar bacaan ayat-ayat tersebut.[12]
B.     Isti’arah (pinjaman), yaitu suatu lafazh yang digunakan tidak menurut arti asli.
Contoh :
·         Allah berfirman :
... وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا ... { مريم : 4}
“Dan telah penuh uban di kepala (ku)’ (QS. Maryam:4)
Lafazh “isyta’ala” dalam ayat di atas adalah lafazh isti’arah, karena arti asalnya “menyala” untuk api bukan untuk uban. Namun karena uban itu terjadi sedikit demi sedikit, maka tak ubahnya seperti nyala api pada arang.
C.     Tasybih (metafora), yaitu menunjukan adanya penyerupaan antara sesuatu dengan sesutu yang lain dari segi maksudnya.[13]
Contohnya :
·         Allah berfirman :
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ { العنكبوت : 41}
“Perumpamaan orang-orang menjadikan pelindung-pelindung selain Allah, tak ubahnya seperti labak-labak yang membuat rumah, padahal sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah labak-labak, jika mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut:41)
Ayat ini gambaran yang jelas bahwa pegangan orang-orang musyrik dalam beribadah kepada selain Allah itu adalah pegangan yang paling lemah. Mereka berusaha dengan mencurahkan tenaga dan pikiran, akan tetapi mereka tidak akan dapat memetik buah dari hasil usaha itu. Ini tak ubahnya seperti usaha labak-labak yang membuat rumah atau sarang, padahal yang dibuatnya itu sangat rapuh, tidak sesuai dengan jerih payah yang telah dikerahkan.[14]
D.    Al-I’jaz, yaitu menggunakan lafaz ringkas yang memilki banyak makna.
Contohnya :
·         Allah berfirman :
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ ... { البقرة : 179}
“Dan dalam qishah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu...” (QS. Al-Baqarah : 179).
Ayat tersebut diungkap dengan lafazh yang ringkas, tapi mengandung makna yang luas, karena yang dimaksud oleh ayat di atas ialah apabila seseorang membunuh maka ia mengetahui kapan ia akan dibunuh. Ayat di atas menyuruh seseorang untuk menghindarkan diri dari pembunuhan. Karena pembunuhan akan menghilangkan kehidupan bagi dirinya (pembunuh) dan bagi orang lain (yang dibunuh). Dengan cara itu dia akan opanjang umur dan banyak turunan, sehingga masing-masing akan memperolah manfaat dari kehidupannya.
E.     Al-Ithnab, yaitu menambah lafazh pada suatu makna untuk memberi tambahan kaidah, seperti
1. Menyebutkan sesuatu yang khusus setelah yang umum
Contohnya :
·         Allah berfirman :
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى ... { البقرة :238 }
“Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wustha”. (QS. Al-Baqarah : 238).
Lafazh “salat wustha (ashar)” secara khusus disebut setelah salat-salat lainnya. Hal ini untuk menunjukan bahwa salat ashar memiliki keutamaan yang lebih dari satu segi bila dibandingkan dengan salat-salat lainnya.[15]
2. Menyebutkan kembali lafazh yang telah disebut
Contohnya :
·         Allah berfirman :
 كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ . ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ { التكاثر : 3-4 }
“Jangan lah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) dan jangan lah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (QS. At-Takasur : 3-4).
Lafazh saupa “ta’lamun” disebut kembali setelah yang pertama, dengan maksud untuk memberikan rasa takut yang berlebihan terhadap kesalahan yang mereka lakukan.
F.      At-Taqdim (mendahulukan penyebutan suatu lafazh) dan At-Takhir (mengakhirkan penyebutan suatu lafazh).
Contohnya :
·         Allah berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ { الفاتحه : 5 }
“Hanya kepada engkau lah kami beribadah dan hanya kepada engkau lah kami memohon pertolongan (QS. Al-Fatihah : 5).
Pada ayat di atas lafazh “iyyaka” didahulukan penyebutannya dari pada “na’budu” dan ”nastian”, hal ini bertujuan untuk mengagungkan Allah serta agar menjadi perhatian. Disamping itu untuk menekankan bahwa ibadah dan isti’anah itu khususnya hanya kepada Allah, karena Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.[16]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pengertian I’jaz Lughawi
Dari segi bahasa, kata i’jaz, berasal dari kata a’jaza, yu’jizu, i’jaz, yang berarti melemahkan atau memperlemah. Juga dapat berarti menetapkan kelemahan. Secara normatif, i’jaz adalah ketidakmampuan seorang melakukan sesuatu yang merupakan lawan dari ketidakberdayaan. Oleh karena itu, apabila kemukjizatan itu telah terbukti, maka nampaklah kemampan mukjizat. Sedang yang dimaksud dengan i’jaz, secara terminologi ilmu al-qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut: Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan: I’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi s.a.w.-dalam pengakuan orang lain-sebagai seorang rasul utusan Allah SWT. Dengan menampakkan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginnya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.[17]
2.      I’jaz Lughawi (Aspek Bahasa) Alquran
·         Keindahan susunan ayat-ayatnya
·         Kesesuaian antara ayat dengan ayat
·         Kesesuaian antara surat dengan surat
·         Keserasian antara pembuka surat dan penutupnya
·         Kesesuaian kandungan suatu surat dengan surat yang lain
·         Keserasian bunyi huruf Akhir (bersajak)
3.      Ketinggian Uslub (Gaya Bahasa)Nya, di antara keistimewaan uslub Alquran ialah :
·   Keteraturan.
·   Keragaman
·   Memuaskan
·   Memiliki

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan.. Ilmu Tafsir. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000.
Usman. ULUMUL QUR’AN. Yogyakarta: Penerbit TERAS. 2009.
Masyhur, Kahar.  Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. 1992.
Sanjaya, ade. Kemukjizatan Al-‘Qur’an dari Aspek Bahasa dan Sastra. http://aadesanjaya. blogspot.com.  
http://www.warna-sahabat.com/2014/05/ijaz-lughawi-aspek-bahasa-alquran.html.




[1] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Bairut: al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’, 1973), h. 258-259.
[2] Ibid., h. 259.
[3] Muhammad Bakar Isma’il, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Manar, 1991), h. 395.
[4] Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut. Dar al-Irsyad, 1970), h. 91.
[5] Ibid.
[6] Muhammad Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-irfan fi Ulum al-Qur’an, j. Ii, (t.t.p.: al-Babi al- Halabi, t.th.), h. 331.
[7] Muhammad Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-irfan fi Ulum al-Qur’an, j. Ii, (t.t.p.: al-Babi al- Halabi, t.th.), h.
[8] Muhammad Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-irfan fi Ulum al-Qur’an, j. Ii, (t.t.p.: al-Babi al- Halabi, t.th.), h.
[9] ibid
[10] http://www.warna-sahabat.com/2014/05/ijaz-lughawi-aspek-bahasa-alquran.html.

[11] ibid
[12] ibid
[13] ibid
[14] ibid
[15] ibid
[16] ibid
[17] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Bairut: al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’, 1973), h. 258-259.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar