BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dunia yang
begitu luas ini, Allah SWT menciptakan berbagai makhluk, gunung-gunung yang
besar, lautan yang besar dan berombak dan samudera yang luas. Demikianlah Allah
menciptakan alam semesta ini atas kuasaNya dan kepada manusia, Allah memberikan
beberapa keistimewaan. Di antaranya adalah kemampuan berpikir yang digunakan
untuk membukakan rahasia-rahasia unsur-unsur kekuatasn yang tersembunyi di alam
ini.
Begitu pula
para nabi yang di utus oleh Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan
manusia terhadap pesan dan misi yang dibawa oleh Nabi. Dan mukjizat itu selalu
dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap
nabi (Harun Sihab, dalam Rosihon Anwar, 2009:9). Namun apakah suatu mukjizat
itu dapat ditandingi?
Berdasarkan
alasan di atas. maka makalah ini membahas topik tentang i’jaz Al-qur’an. Dimana
akan dijelaskan mengenai dasar pembahasan i’jaaz Al-qur’an dan keindahan dari
segi-segi kemukjizatan Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian I’jaaz Al-qur’an ?
2.
Bagaiaman Keaspekkan Bahasa Alquran (I’jaz
Lughawi) ?
3.
Bagaimana Ketinggian Uslub (Gaya Bahasa)Nya ?
C. Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui arti i’jaaz Al-qur’an, aspek-aspek bahasa
alquran dan uslub (gaya bahasa).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian I’jaz Al-Qur’an
Dari segi
bahasa, kata i’jaz, berasal dari kata a’jaza, yu’jizu, i’jaz, yang
berarti melemahkan atau memperlemah. Juga dapat berarti menetapkan kelemahan.
Secara
normatif, i’jaz adalah ketidakmampuan seorang melakukan sesuatu yang merupakan
lawan dari ketidakberdayaan. Oleh karena itu, apabila kemukjizatan itu telah
terbukti, maka nampaklah kemampan mukjizat. Sedang yang dimaksud dengan i’jaz,
secara terminologi ilmu al-qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
beberapa ahli berikut: Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan: I’jaz adalah
menampakkan kebenaran Nabi s.a.w.-dalam pengakuan orang lain-sebagai seorang
rasul utusan Allah SWT. Dengan menampakkan kelemahan orang-orang Arab untuk
menandinginnya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an dan
kelemahan-kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.[1]
Sedangkan
mukjizat adalah perkara luar biasa yang disertai dengan tantangan yang tidak
mungkin dapat ditandangi oleh siapapun dan kapanpun.[2]
Muhammad Bakar
Ismail menegaskan: Mukjizat adalah”Perkara luar biasa yang disertai –dan
diikuti dengan tantangan yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada Nabi-nabi-Nya
sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa yang
diembannya, yang bersumber dari Allah SWT.[3]
Muhammad Ali-
al-Shabuniy mengemukakan: I’jaz ialah: menetapkan kelemahan manusia baik
secara kelompok maupun bersama-sama untuk menandingi hal yang serupa dengannya,
maka Mukjizat merupakan bukti yang datangnya dari Allah SWT. Yang diberikan
kepada hamba-Nya untuk memperkuat kebenaran misi kerasulan dan kenabiannya.[4]
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami
bahwa antara i’jaz dan mukjizat itu adalah dapat dikatakan seperti, yakni melemahkan.
Hanya saja pengertian i’jaz di atas mengesankan batasan yang lebih bersifat
spesifik, yaitu hanya al-Qur’an. Sedangkan pengertian mukjizat, menegaskan
batasan yang lebih luas, yakni bukan hanya berupa al-Qur’an, tetapi juga
perkara-perkara lain yang ridak mampu dijangkau oleh segala daya dan kemampuan
manusia secara keseluruhan. Ini sebagai salah satu bukti kebenaran misi
kerasulan yang dibawanya itu. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka yang
berpaling dari kebenaran yang dibawa oleh para Rasul Allah tersebut.[5]
Suatu riwayat Rasullullah s.a.w sendiri juga
menggunakan al-Qur’an untuk menentang dan menantang orang-orang Arab yang pada
waktu itu memiliki kemampuan yang amat tingi dalam bidang sastra dan retorika.
Namun tidak seorang pun dari mereka yang mampu menjawab dan menandingi, apalagi
mengungguli tantangan itu. Ini semua menunjukkan bahwa al-Qur;an bukanlah
perkataan manusia melainkan bersumber dari Allah S.W.T. sekaligus merupakan
mukjizat terbesar bagi rasul-Nya, Muhammad s.a.w. tantangan al-qur’an yang
dimaksud ialah mencakup, baik dari segi susunan, retorika ataupun sendiri
melalui tiga taha dalam formulasi yag berbeda-beda, yaitu:[6]
Al-Qur’an telah mencapai puncak yang tertinggi
dalam memuat kan i’jaz bahasanya, sehingga:
1. Pakar-pakar bahasa Arabpun jadi lemah
menghadapinya.
2. Membisukan lidah pakar ilmu bayaan.
3. Pakar-pakar penyair dan natsar jadi
keheran-heranan menghadapinya.
4. Akal merasa heran dan dahsyat melihat susunan
kalimat yang memukau.
5. Terhenti akal berpikir menghadapi ungkapannya.
B.
I’jaz Lughawi (Aspek Bahasa) Alquran
Kemukjizatan Alquran dari segi bahasa tidak
diragukan lagi, terbukti hingga kini tidak ada seorang pun yang dapat
menandingi keindahan ushulubnya. Kemukjizatan Alquran dari segi bahasa ini dapat
dilihat dari beberapa aspek, di antaranya :[7]
1.
Keindahan susunan ayat-ayatnya
Alquran yang diturunkan selama kurang lebih 23 tahun, dan sebagian
ayat-ayatnya diturunkan berdasarkan peristiwa dan latar belakang tertentu,
ternyata rangkain ayat-ayatnya bisa tersusun rapi secara sitematis, serasi,
utuh, dan tidak terdapat pertentangan. Keteraturan dan kesinambungan susunan
membuat seseorang tidak akan menduga bahwa ayat-ayatnya diturunkan secara
terpisah-pisah dan terpotong-potong. Keindahan susunan Alquran meliputi :
2. Kesesuaian antara ayat dengan ayat
Setiap ayat dalam Alquran mempunyai korelasi dengan ayat
sebelumnya, seperti muqabalah (kata yang bertolak belakang) antara sifat-sifat orang mukmin dengan sifat-sifat
orang musyik, ancaman bagi mereka dan janji bagi yang lainnya, ayat-ayat yang
berkaitan dengan rahmat disebut setelah ayat-ayat yang berkaitan dengan azab,
dan sebagainya. Contohnya :
a. Allah berfirman :
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلاُ وَلْيَبْكُوا
كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ { التوبة : 82 }
“Maka hendaklah
mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang
mereka selalu kerjakan.” (QS. At-Taubah : 82).
b. Allah
berfirman :
000
وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ { الأعراف : 157}
“Menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka apa yang buruk.” (QS.
Al-A’raf : 157).
c. Allah berfirman :
...
بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ { الحديد : 13}
“Di
sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS.
Al-Hadid : 13)
d. Allah
berfirman :
...
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ 0الرَّحْمَانِ الرحِيمِ
“Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Fatihah : 2-3).
Imam Alqurthubi berkata : “Allah swt.” diri-Nya dengan ‘ar-rahman
ar-rahim’ setelah ‘rabbul ‘alamien’, karena di dalam pensifatan diri-Nya dengan
‘rabbul ‘alamien’ terdapat tarhieb (peringatan) yang dihubungkan dengan
‘ar-rahman ar-rahim’ karena terkandung di dalamnya terghieb (anjuran), supaya
bersatu antara peringatan dari Allah dan dorongan kepada-Nya, sehingga lebih membantu dalam
menataati-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi,
1 : 139)[8]
3.
Kesesuaian antara surat dengan surat
Seperti
surat-surat yang mengandung kata-kata ‘al-hamdu’:
a.
Al-hamdu yang berkaitan dengan zharf makan (tempat). Contonya :
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأََرْضَ { الأنعام : 1}
“Segala
puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi...” (QS. Al-An’am : 1)
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ { سبأ : 1}
‘Segala
puji bagi Allah Yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi...”(QS.
Saba : 1)
b.
Al-hamdu sebagai pembuka Alquran. (Tafsir Ibnu Katsir I : 3)
Contohnya
:
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَانِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ { الفاتحه 2-4
}
“Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha pemurah lagi Maha Penyayang, Yang
menguasai hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah: 2-4)
Allah
berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ
عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا { الكحف : 31 }
“Segala
puji bagi Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada hambanya-Nya...
(QS. Al-Kahfi : 1)[9]
4.
Keserasian antara pembuka surat dan
penutupnya
Seperti surat (28) Al-Qashash : Surat ini diawali oleh kisah Nabi
Musa yang mengalami aneka rupa cobaan dalam menghadapi kekejaman Fir’aun.
Kemudian diakhiri dengan hiburan dari Allah kepada Nabi Muhammad dan para
sahabatnya yang selalu disakiti, diejek, dan diusir oleh orang-orang musyik
Mekkah dengan menerangkan bahwa
orang-orang yang beriman itu akan menerima cobaan atas keimanan kepada
nabi mereka, seperti yang dialami oleh Nabi Musa dan Bani Israil.
5.
Kesesuaian kandungan suatu surat
dengan surat yang lain
a)
Dalam surat Quraisy Allah mengatakan
bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, maka dalam surat Al-ma’un Allah
mencela orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi maka orang miskin.
b)
Dalam surat Quraisy Allah
memerintahkan manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya maka dalam surat
Al-ma’un Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan riya.
6.
Keserasian bunyi huruf Akhir
(bersajak)
a.
Huruf-huruf yang sejenis, seperti :
1.
(QS. Ath-Thur : 1-4)
وَالطُّورِ . وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ . فِي رَقٍّ مَنْشُورٍ . وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ { الطور : 1-4}
2.
(QS. An-Nas : 1-6)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
. مَلِكِ النَّاسِ . إِلَهِ النَّاسِ . مِنْ شَرِّ
الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ . الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
. مِنْ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ { الناس : 1-6}
b. Huruf-huruf yang saling berdekatan, seperti :
(QS.
Al-Fatihah : 3-4)
الرَّحْمَانِ الرَّحِيمِ
. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ . { الفاتحه :
3-4}
Karena dekatnya huruf mim dengan nun dalam akhir kata.
c.
Dua kata yang sama dalam wazan dan
huruf-huruf sajaknya, seperti
(QS. Al-Ghasyiah : 13-14)
وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ .
وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ { الغاشية : 15-16}
d.
Kata yang sama dalam penggalan
kalimat, seperti ;[10]
(QS.
Al-Ghasyiah 15-16)
وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ .
وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ { الغاشية 15-16}
C.
Ketinggian Uslub (Gaya Bahasa)Nya
Para ulama sepakat bahwa Alquran memiliki uslub yang tinggi.
Uslub Alquran memilki keistimewaan yang tidak akan didapati pada
omongan manusia.
Di antara keistimewaan uslub Alquran ialah :
·
Keteraturan bunyinya yang
indah melalui nada huruf-hurufnya ketika mendengar harakat dan sukunnya, madd
dan gunnah-nya, wahsal dan saktah-nya, sehingga telinganya tidak pernah merasa
bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.
·
Keragaman khitab-nya
(pengungkapan kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak), yang menyebabkan
berbagai orang golongan manusia dengan berbagai tingkat intelektualitas dapat
memahami kitab itu sesuai tingkatan akalnya, sehingga masing-masing dari mereka
memandangnya sesuai dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan
ahli.
·
Memuaskan akal dan menyenangkan
perasaan, oleh karena Alquran dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran
maupun perasaan, secara berimbang. Kekuatan fikir tidak menindas kekuatan rasa
dan kekuatan rasa pun tidak mematikan kekuatan fikir.
·
Memiliki fashahah (ketepatan dalam
pilihan kata, baik lafalnya, intonasi, dan sebagainya), serta mengandung
balaghah. (kefasihan lidah).[11]
Fashahah dan balaghah Alquran ini memiliki beberapa bentuk, di
antaranya:
A.
Majaz (kiasan), yaitu arti kata yang
bukan sebenarnya.
Contohnya
:
·
Allah berfirman:
...وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَا نًا... { الأنفال : 2}
“Dan
apabila dibacakan ayat-ayat-Nya terhadap mereka, ayat-ayat itu menambah
keimanan mereka.” (QS. Al-Anfal:2).
Dalam
ayat, tersebut, kata ‘tambahan’ dinisbahkan kepada ayat, padahal semestinya
dinisbahkan kepada iman orang mukmin yang bertambah karena mendengar bacaan ayat-ayat
tersebut.[12]
B.
Isti’arah (pinjaman), yaitu suatu
lafazh yang digunakan tidak menurut arti asli.
Contoh :
·
Allah berfirman :
...
وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا ... { مريم : 4}
“Dan
telah penuh uban di kepala (ku)’ (QS. Maryam:4)
Lafazh
“isyta’ala” dalam ayat di atas adalah lafazh isti’arah, karena arti asalnya
“menyala” untuk api bukan untuk uban. Namun karena uban itu terjadi sedikit
demi sedikit, maka tak ubahnya seperti nyala api pada arang.
C.
Tasybih (metafora), yaitu menunjukan
adanya penyerupaan antara sesuatu dengan sesutu yang lain dari segi maksudnya.[13]
Contohnya
:
·
Allah berfirman :
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ
أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ { العنكبوت
: 41}
“Perumpamaan
orang-orang menjadikan pelindung-pelindung selain Allah, tak ubahnya seperti
labak-labak yang membuat rumah, padahal sesungguhnya rumah yang paling lemah
adalah rumah labak-labak, jika mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut:41)
Ayat ini
gambaran yang jelas bahwa pegangan orang-orang musyrik dalam beribadah kepada
selain Allah itu adalah pegangan yang paling lemah. Mereka berusaha dengan
mencurahkan tenaga dan pikiran, akan tetapi mereka tidak akan dapat memetik
buah dari hasil usaha itu. Ini tak ubahnya seperti usaha labak-labak yang
membuat rumah atau sarang, padahal yang dibuatnya itu sangat rapuh, tidak
sesuai dengan jerih payah yang telah dikerahkan.[14]
D.
Al-I’jaz, yaitu menggunakan lafaz
ringkas yang memilki banyak makna.
Contohnya
:
·
Allah berfirman :
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ ...
{ البقرة : 179}
“Dan
dalam qishah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu...” (QS. Al-Baqarah :
179).
Ayat tersebut diungkap dengan lafazh yang ringkas, tapi mengandung
makna yang luas, karena yang dimaksud oleh ayat di atas ialah apabila seseorang
membunuh maka ia mengetahui kapan ia akan dibunuh. Ayat di atas menyuruh
seseorang untuk menghindarkan diri dari pembunuhan. Karena pembunuhan akan
menghilangkan kehidupan bagi dirinya (pembunuh) dan bagi orang lain (yang
dibunuh). Dengan cara itu dia akan opanjang umur dan banyak turunan, sehingga
masing-masing akan memperolah manfaat dari kehidupannya.
E. Al-Ithnab, yaitu menambah lafazh pada suatu makna untuk memberi
tambahan kaidah, seperti
1.
Menyebutkan sesuatu yang khusus setelah yang umum
Contohnya
:
·
Allah berfirman :
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى ... { البقرة :238 }
“Peliharalah
segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wustha”. (QS. Al-Baqarah : 238).
Lafazh
“salat wustha (ashar)” secara khusus disebut setelah salat-salat lainnya. Hal
ini untuk menunjukan bahwa salat ashar memiliki keutamaan yang lebih dari satu
segi bila dibandingkan dengan salat-salat lainnya.[15]
2.
Menyebutkan kembali lafazh yang telah disebut
Contohnya
:
·
Allah berfirman :
كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ . ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ
تَعْلَمُونَ { التكاثر : 3-4 }
“Jangan
lah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) dan jangan lah
begitu, kelak kamu akan mengetahui. (QS. At-Takasur : 3-4).
Lafazh
saupa “ta’lamun” disebut kembali setelah yang pertama, dengan maksud untuk
memberikan rasa takut yang berlebihan terhadap kesalahan yang mereka lakukan.
F.
At-Taqdim (mendahulukan penyebutan
suatu lafazh) dan At-Takhir (mengakhirkan penyebutan suatu lafazh).
Contohnya
:
·
Allah berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ { الفاتحه : 5 }
“Hanya
kepada engkau lah kami beribadah dan hanya kepada engkau lah kami memohon
pertolongan (QS. Al-Fatihah : 5).
Pada
ayat di atas lafazh “iyyaka” didahulukan penyebutannya dari pada “na’budu” dan
”nastian”, hal ini bertujuan untuk mengagungkan Allah serta agar menjadi
perhatian. Disamping itu untuk menekankan bahwa ibadah dan isti’anah itu
khususnya hanya kepada Allah, karena Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak
terhadapnya.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pengertian I’jaz Lughawi
Dari segi bahasa, kata i’jaz, berasal dari
kata a’jaza, yu’jizu, i’jaz, yang berarti melemahkan atau memperlemah.
Juga dapat berarti menetapkan kelemahan. Secara normatif, i’jaz adalah
ketidakmampuan seorang melakukan sesuatu yang merupakan lawan dari
ketidakberdayaan. Oleh karena itu, apabila kemukjizatan itu telah terbukti,
maka nampaklah kemampan mukjizat. Sedang yang dimaksud dengan i’jaz, secara
terminologi ilmu al-qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa
ahli berikut: Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan: I’jaz adalah menampakkan
kebenaran Nabi s.a.w.-dalam pengakuan orang lain-sebagai seorang rasul utusan
Allah SWT. Dengan menampakkan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginnya
atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan
generasi-generasi sesudah mereka.[17]
2. I’jaz Lughawi (Aspek Bahasa) Alquran
·
Keindahan susunan ayat-ayatnya
·
Kesesuaian
antara ayat dengan ayat
·
Kesesuaian antara surat dengan surat
·
Keserasian antara pembuka surat dan
penutupnya
·
Kesesuaian kandungan suatu surat
dengan surat yang lain
·
Keserasian bunyi huruf Akhir
(bersajak)
3.
Ketinggian Uslub (Gaya Bahasa)Nya, di antara keistimewaan uslub Alquran
ialah :
·
Keteraturan.
· Keragaman
· Memuaskan
· Memiliki
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan.. Ilmu Tafsir. Bandung: CV.
Pustaka Setia. 2000.
Usman. ULUMUL QUR’AN. Yogyakarta:
Penerbit TERAS. 2009.
Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT
RINEKA CIPTA. 1992.
Sanjaya, ade. Kemukjizatan Al-‘Qur’an dari
Aspek Bahasa dan Sastra. http://aadesanjaya. blogspot.com.
http://www.warna-sahabat.com/2014/05/ijaz-lughawi-aspek-bahasa-alquran.html.
[1] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Bairut:
al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’, 1973), h. 258-259.
[6] Muhammad Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil
al-irfan fi Ulum al-Qur’an, j. Ii, (t.t.p.: al-Babi al- Halabi, t.th.), h.
331.
[7] Muhammad Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil
al-irfan fi Ulum al-Qur’an, j. Ii, (t.t.p.: al-Babi al- Halabi, t.th.), h.
[8] Muhammad Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil
al-irfan fi Ulum al-Qur’an, j. Ii, (t.t.p.: al-Babi al- Halabi, t.th.), h.
[17] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Bairut:
al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’, 1973), h. 258-259.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar