Minggu, 12 Maret 2017

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM "PERNIKAHAN"



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama.dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan. Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenar nya juga harus dipenuhi.
B.     Rumusan Masalah
A.    Apa Pengertian Nikah ?
B.     Bagaimana Hukum Nikah ?
C.     Bagaimana Kufu (Pertunangan)?
D.    Apa Rukun dan Syarat Sah Nikah ?
E.     Apa Hak dan Kewajiban Suami dan Istri ?
F.      Bagaimana Perumpuan yang Haram di Kawini ?
G.    Mengapa Putus nya Perkawinan ?
H.    Apa Akibat dari Rujuk Nikah ?

C.    Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengerti pengertian nikah, hukum nikah, memilih jodoh, pertunangan, rukun dan syaratnya, hak dan kewajiban suami istri, hukum mekawini perumpuan, putusnya perkawinan dan akibat dari rujuk nikah.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nikah
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rosul.[1]
Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.[2]
B.     Hukum Nikah
Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas, meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai kebolehan/ hal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat menjadi kewajiban.[3]
Walaupun demikian, Imam Syafi’i menganggap bahwa menikah bersifat mubah (diperbolehkan).
Apa yang keluar dari pertimbangan saksama perintah Al-Qur’an Hadis Nabi Saw adalah bahwa perkawinan diwajibkan bagi seorang lelaki yang memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar mahar, menafkahkan istri dan anak-anak, sehat jasmani dan dikhawatirkan bila tidak menikah dia akan melakukan zina. Ia pun diwajibkan pula bagi wanita yang tak memiliki kekayaan apa pun untuk membiayai hidupnya dan dikhawatirkan kebutuhan seksnya akan menjerumuskannya ke dalam perzinaan. Namun ia bersifat Sunnat (Mandhubah) bagi seseorang yang memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan tuntunan seksnya sehingga tidak akan terjerumus ke dalam bujukan syaitan namun berkeinginan untuk memperoleh keturunan dan orang yang merasa bahwa dengan menikah tak akan menjauhkannya dari pengabdiannya kepada Allah.
            Meskipun demikian, menurut mazhab Maliki, menikah merupakan kewajiban (Fardhu) bagi orang muslim sekalipun mungkin dia tidak mamp memperoleh nafkah hidup, berdasarkan tiga pernyataan berikut:
1.      Bila tidak menikah dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zinah.
2.      Bila dia tidak mampu berpuasa untuk mengendalikan hawa nafsunya, atau dia dapat berpuasa namun puasanya tak mampu menolongnya menahan diri dari hawa syahwatnya.
3.      Dia tidak dapat menemukan budak wanita yang diberbolehkan baginya untuk menyalurkan hasrat seksualnya.[4]
Beberapa ulama tidak sepakat dengan hal ini dan mengingatkan bahwa dia tak mampu memperoleh nafkah hidup halal maka dia tak boleh menikah. Dan bila dia tetap menikah tanpa harapan memperoleh makanan yang halal, niscaya dia akan melakukan pencurian atau perbuatan lain semacam itu. Dengan demikian, untuk menghindarkan satu kejahatan justru dia menjadi korban dengan melakukan kejahatan yang lain.
Sedangkan mazhab Hanafi menganggap menikah itu wajib berdasarkan empat persyaratan berikut:
a.       Bila seorang lelaki yakin akan berbuat zina kalau tidak menikah.
b.      Bila dia tak mampu berpuasa atau sekalipun dia dapat berpuasa namun tetap tak membantunya untuk mengendalikan nafsu syahwatnya. Tetapi bila puasa itu dapat membantunya, maka dia diharuskan lebih baik wanita untuk digaulinya.
c.       Bila dia tak mendapatkan budak wanita untuk digaulinya.
d.      Bila dia mampu membayar mahar dan mampu memperoleh nafkah hidup yang halal. Namun bila dia tidak mampu mendapatkan biaya hidupnya dengan halal, maka tak wajib baginya menikah.[5]
Menikah diharamkan kepada seorang lelaki kalau dia tak memiliki kekayaan untuk membiayai istri dan anak-anak, atau dia menderita suatu penyakit yang cukup gawat dan akan menular kepada istrinya dan keturunannya.
Dan dia menjadi makruh bagi seorang lelaki yang tak memiliki keingingan seksual sama sekali atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah itu.
Nabi SAW telah memerintahkan para pengeikutnya untuk memasuki ikatan perkawinan karena Beliau SAW memiliki suatu tujuan tertentu bagi mereka. Adanya sebuah Hadis mengatakan. “Diriwatkan dari Annas bahwa rasullullah SAW telah bersabda: “bila seseorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan separuh dari ajaran agamanya, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam separuh sisanya.”[6]
Nabi SAW. Menganggap bahwa menikah bagi seorang muslim sebaga “separuh dari agamanya” karena hal itu akan melindunginya kekacauan, perbuatan akibat perzinahan, dan kehidupan yang pada akhirnya akan menjeremuskan nya kedalam berbagai tindak kriminal lainnya seperti timbulnya fitnah, pertikaian, pembunuhan, perampasan hak milik, dan akhirnya mengakibatkan rusaknya tatanan kekeluargaan ideal yang sangat ditekankan oleh Nabi Saw.
Menurut Nabi Saw. separuh dari sisa kepercayaan yang melengkapi bagi separuh yang pertama dapat diperoleh dengan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.
Dalam Hadist yang lain. Rasullulah SAW telah menyebutkan bahwa hal terbanyak dapat dicapai oleh seorang muslim menuju ketakwaan adalah amal shaleh dan  menaati istri.
            Diriwatkan dari Abu Umamah, dari Nabi SAW bahwa Nabi SAW telah bersabda:
Tiada memperoleh manfaat seorang mukmin setelah taqwanya kepada Allah yang lebih baik baginya daripada istri Shaleh yang bila diperintahkan dia (si istri) menantinya (suami), menyenangkan bila melihatnya, melaksanakan apa yang diperintahkan padanya (kecuali dalam hal yang haram), dan bila suaminya tak ada, dia dapat menjaga dirinya sendiri dan harus suaminya”.[7]
            Nabi Sangat menekankan pada keimanan, kesalehan dan kesungguhan sebagai kriteria utama dalam memilih pasangan hidup. Beliau SAW. telah bersabda: Barangsiapa yang menikah seorang wanita karena keturunnannya niscaya Allah akan merendahkan kedudukannya , barangsiapa yang menikahi wanita karena kekayaannya niscaya Allah akan mencabut hartanya namun barangsiapa yang menikahi yang menikahi wanita dengan tujuan untuk menundukkan pandangannya melaksanakannya dengan bijaksana dan menjaga hubungannya dengan baik niscaya Allah akan memberkati hubungannya dengan istri dan hubungan istrinya dengan (suami)”. Dengan demikian kesalehan dan keimanan merupakan tujuan paling utama dalam perkawinan.
            Nabi SAW. juga telah bersabda: “Adanya tiga orang yang dijanjikan Allah akan ditolong-Nya langsung.
Pertama orang yang berusaha menebus dirinya (dari perbudakan): kedua orang yang menikah dengan tujuan untuk menjaga kehormatanny: dan ketiga orang yang berjuang di jalan Allah.[8]

C.    Bagaimana kufu (Pertunangan) ?
Setelah terjadi peminangan dan pinangan tersebut diterima, maka secara tidak langsung kedua belah pihak dengan persetujuan disertai kerelaan hati telah mengadakan  perjanjian untuk melaksanakan akad nikah. Dengan adanya perjanjian tersebut maka secara tidak langsung maupun langsung calon mempelai telah terikat pertunangan. Masa antara  penerimaan pinangan dengan pelaksanaan akad nikah disebut sebagai masa pertungan. Dalam masa ini, masih belum berlaku hukum suami istri, baik melakukan hubungan seks atau hak dan kewajiban suami istri. Ketika calon suami memberikan sesuatu kepada calon istri, adalah sama dengan  pemberian biasa, tidak ada ikatan, dan tidak wajib dikembalikan seandainya pertunangan diputuskan. Pertunangan adalah semacam perjanjian biasa, Karen itu membatalkan  pertunangan sama hukumnya dengan membatalkan perjanjian biasa. Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat, yaitu:
1. Menurut madzhab Hanafi bahwa masing-masing pihak harus mengembalikan kepada masing-masing, bila hadiah itu masih ada wujudnya, tetapi kalau sudah tidak ada wujudnya maka tidak perlu diganti dengan uang.
2. Menurut madzhab Syafi’I bahwa para pihak peminang yaitu pihak laki-laki berhak menerima kembali barang-barang yang telah diberikan pada pihak wanita jika wujudnya masih ada dan harus diganti harganya jika barang-baang itu sudah tidak ada wujudnya.
3. Menurut madzhab Maliki membedakankan pihak mana yang memutuskan pertunangan, apabila yang memutuskan pihak laki-laki, maka pihak wanita tidak berkewajiban mengembalikan hadiah-hadiah yang diterima, tetapi apabila yang membatalkan wanita, maka  pihak wanita wajib mengembalikan hadiah-hadiah itu kepada pihak laki-laki.
Dari beberapa pendapat diatas pendapat madzhab Malikilah yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku sekarang khususnya di Indonesia dan mendekati dengan keadilan.[9]

D.    Syarat dan rukun nikah
Undangan-undangan perkawinaan menetapkan beberapa syarat perkawinan. Dalam pasal 6 disebutkan: [10]
1.      Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2.      Untuk melangsungkan peerkawinana seseorang harus mencapai umur umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang-tua
3.      Dalam hal salah seorang dari kedua orang-tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang-tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.      Dalam hal kedua orang-tua telah meninggal dunia atau keadaan dalam tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh oleh wali, orang yg memlihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.      Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atau permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2,3, dan 4 pasal ini.
6.      Selanjutnya dalam pasal 7 disebutkan:” perkwaninan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 191 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

A.    Rukun Nikah
adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:
a.       Calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
b.      Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
c.       Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.
d.      Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1)      Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2)      Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3)      Saudara laki-laki kandung.
4)      Saudara laklaki sebapak.
5)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7)      Paman (saudara laki-laki bapak).
8)      Anak laki-laki paman.
9)      Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim.         .
e.       Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.

Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
·         Adapun Rukun Perkawinan menurut Islam adalah:
1.      Calon pengantin pria.
2.      Calon pengantin perempuan.
3.      Wali nikah.
4.      Dua orang sanksi.
5.      Sighat (akad) ijab Kabul.

B.     Syarat-syarat perkawinan adalah:
Untuk calon pengantin pria, syaratnya:
1.      Beragama Islam
2.      Laki-laki (bukan banci)
3.      Tertentu/jelas orangnya.
4.      Tidak terkena halangan perkawinan.
5.      Cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga
6.      Tidak sedang mengerjakan haji atau umrah
7.      Belum mempunyai empat orang istri
Untuk calon pengantin perempuan, syaratnya:
1.      Beragama Islam (dulu termasuk wanita ahli kitab)
2.      Perempuan (bukan banci)
3.      Tertentu/jelas orangnya
4.      Dapat diminta persetujuan
5.      Tidak terkena halangan perkawinan
6.      Di luar iddah (bagi janda)
7.      Tidak sedang mengerjakan haji atau umroh
Untuk wali, syaratnya:
1.      Beragama Islam
2.      Laiki-laki
3.      Adil (tidak fasiq)
4.      Mempunyai ha katas perwakilannya
5.      Tidak terkena halangan untuk menjadi wali
6.      Tidak sedang mengerjakan hati atau umroh
Untuk saksi,syaratnya:
1.      Dua orang laki-laki
2.      Beragama Islam
3.      Mengerti maksud akad perkawinan
4.      Hadir pada saat ijab Kabul berlangsung

E.     Hak dan Kewajiban Suami Istri
Apabila calon-calon mempelai telah melaksanakan akad nikah dan akad nikah ini telah sah, maka disaat sahnya itu masing-masing mereka telah terikat oleh ikatan perkawinan dan telah hidup sebagai suami istri. Kedua nya ditugaskan oleh agama  untuk mencapai tujuan-tujuan perkawinannya, seperti melanjutkan ke turunan,menciptakan rumah tangga yang bahagia yang diliputi cinta dan kasih sayang, berusaha mendidik anak sehingga menjadi seorang muslim yang sempurna dan sebagainya.
Dalam mengatur dan melaksanakan kehidupan suami istri untuk mencapai tujuan perkawinannya, agama mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami istri.
Yang dimaksud hak disini, ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang di peroleh hasil dari perkawinannya. Hak ini hanya dapat dipenuhi atau tidak dibayar oleh pihak yang lain. Dan yang dimaksud dengan kewajiban disini, ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu pada umumnya dapat dibagi kepada :
A.    Nafakah.                           C. Menyusukan anak.
B.     Hidhanah.                         D. Pergaulan suami istri.

Nafakah ‘’berarti’’belanja’’,kebutuhan pokok’’. Maksud nya, ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan  oleh keluarga  dan anggota-anggota keluarga, maka dari kedua pendapat tersebut diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum  itu, ialah pangan, sedang kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.
‘’Nafakah’’ ini adalah hak dari orang-orang yang mempunyai nya, dan hak itu harus dipenuhi oleh orang-orang yang berkewajiban membayarnya.[11]
Adapun hak-hak Suami Istri sebagai berikut:
Hak istri yang menjadi berkewajiban suami dapat dibagi menjadi dua: hak-hak kebendaan,yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaaan, misalnya berbuat adil diantara para istri ( dalam perkawinan poligami ), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.
Hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut hukum islam istri tidak dibebani  kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup berkeluarga. Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga yang baik. Hal ini dimaksudkan  agar istri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga  yang sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh.[12]

F.     Wanita-Wanita Yang Haram Dinikahi
Islam mengharamkan seorang laki-laki menikah dengan wanita-wanita tertentu (muhrim), mereka sebanyak 14 (empat belas) orang:tujuh sebab keturunan (nasab), dua sebab pertalian susuan (radla’ah), dan empat sebab perkawinan.[13]
Muhrim sebab keturunan (nasab)
a.       Ibu,nenek,dan seterusnya garis keatas
b.      Anak perempuan sendiri, cucu perempuan, dan seterusnya garis kebawah
c.       Saudara perempuan (kandung atau seayah/seibu)
d.      Bibi (saudara perempuan ayah)
e.       Bibi (saudara perempuan ibu)
f.       Kemenakan (anak perempuan dari saudara laki-laki) dan seterusnya
g.       Kemenakan (anak perempuan dari saudara perempuan) dan seterusnya.
Muhrim sebab pertalian susuan (radla’ah)
a.       Perempuan yang menyusui
b.      Saudara perempuan yang sepersusuan.
Muhrim sebab perkawinan
a.       Ibu mertua
b.      Anak tiri yang ibunya telah dikumpuli
c.       Menantu (istri dari anak)
d.      Ibu tiri.

G.    Mengapa Putus nya Perkawinan
Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:
1.      Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri.
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu
2.      Khulu’
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
3.      Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.
b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
4.      Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri.
5.      Ta’lik talak
Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.

6.      Ila’
Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
7.      Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’.
8.      Li’aan
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
9.      Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal. [14]


H.    Apa Akibat dari Rujuk Nikah
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya rujuk adalah sebagai berikut:
1. Karena sewaktu bercerai suami berada dalam keadaan emosi yang tak stabil, sehingga tanpa sadar yang diakibatkan emosi yang bergejolak ia telah mengucapkan kata cerai terhadap istrinya.
2. Merasa kasihan dengan anak-anak mereka yang akanamenjadi korban bila mereka bercerai.
3. Masih saling mencintai antara suami dan istri.
4. Sadar akan tujuan awal mereka membina Rumah tangga.
5. Bujukan keluarga.










BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Agama islam juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahn, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Smua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.














DAFTAR PUSTAKA
·         Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997)
·         KH Ahmad Azhar Basyir, MA, hukum perkawinan islam Yogyakarta,  Maret 2000
·         A.Zuhdi Muhdlor, Memahami hukum perkawinan Bandung,  Maret 1994
·         Drs.Kamal Mukthar, asas-asas hukum islam tentang perkawinan, PT bulan bintang, Jakarta 1993
·         MUHDOR ZUHDI, Memahami  Hukum Perkawinan,  Al-bayan, Bandung, maret 1994
·         Syaikh Kamil Muhammad  ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998) 
·         Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
·         Prof. Abdul Rahman I. Doi, Ph.D,PERKAWINAN Dalam SYARIAT ISLAM, PT RINEKA CIPTA, Jakarta 1996.


[1] Syaikh Kamil Muhammad  ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)  hal. 375
[2] Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006) hal. 8
[3] Prof. Abdul Rahman i. Doi, Ph. D, Perkawinan dalam Syariat Islam, PT RINEKA CIPTA:  Jakarta, 1996. hlm. 8.
[4] Prof. Abdul Rahman i. Doi, Ph. D, Perkawinan dalam Syariat Islam, PT RINEKA CIPTA:  Jakarta, 1996. hlm. 9.
[5] Ibid.
[6] H.R.
[7] H.R.
[8] Prof. Abdul Rahman i. Doi, Ph. D, Perkawinan dalam Syariat Islam, PT RINEKA CIPTA:  Jakarta, 1996. hlm. 11.
[9] Soemiyati,  Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hal. 28-29.
[10] MUHDOR ZUHDI, ,Memahami  Hukum Perkawinan,  Al-bayan, Bandung, maret 1994, hal 51-53
[11] Drs.Kamal Mukthar, asas-asas hukum islam tentang perkawinan, PT bulan bintang, Jakarta 1993, Hal 126
[12] KH Ahmad Azhar Basyir, MA, hukum perkawinan islam Yogyakarta,  Maret 2000,  Hal 53
[13] A.Zuhdi Muhdlor, Memahami hukum perkawinan Bandung,  Maret 1994, Hal 56
[14] Prof. Abdul Rahman I. Doi, Ph.D,PERKAWINAN Dalam SYARIAT ISLAM, PT RINEKA CIPTA, Jakarta 1996 hal. 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar