BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya
dari dua buah sisi. Dimana pernikahan
merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya
jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama.dari sudut pandang ini, maka
pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja
memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki
keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus
disalurkan. Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan ini, kebutuhan
biologis sebenar nya juga harus dipenuhi.
B.
Rumusan Masalah
A.
Apa
Pengertian Nikah ?
B.
Bagaimana
Hukum Nikah ?
C.
Bagaimana
Kufu (Pertunangan)?
D.
Apa
Rukun dan Syarat Sah Nikah ?
E.
Apa
Hak dan Kewajiban Suami dan Istri ?
F.
Bagaimana
Perumpuan yang Haram di Kawini ?
G.
Mengapa
Putus nya Perkawinan ?
H.
Apa
Akibat dari Rujuk Nikah ?
C.
Tujuan
Agar mahasiswa
dapat mengerti pengertian nikah, hukum nikah, memilih jodoh, pertunangan, rukun
dan syaratnya, hak dan kewajiban suami istri, hukum mekawini perumpuan,
putusnya perkawinan dan akibat dari rujuk nikah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nikah
Pernikahan
berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata
kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah
berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah
fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang
dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang
dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk
perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul.
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan
menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa,
makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka
bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan
pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.
Islam adalah agama yang
syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu
masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun
masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil
dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam
masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari
kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala
resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam
mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun
tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana
namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah
kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat
pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan
karna tidak mengikuti sunnah rosul.[1]
Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis
berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan
perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang
sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan
inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena
keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.[2]
B.
Hukum Nikah
Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin
Hanbal dan Malik bin Anas, meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai
kebolehan/ hal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat
menjadi kewajiban.[3]
Walaupun demikian, Imam Syafi’i
menganggap bahwa menikah bersifat mubah (diperbolehkan).
Apa yang keluar dari pertimbangan
saksama perintah Al-Qur’an Hadis Nabi Saw adalah bahwa perkawinan diwajibkan
bagi seorang lelaki yang memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar mahar,
menafkahkan istri dan anak-anak, sehat jasmani dan dikhawatirkan bila tidak
menikah dia akan melakukan zina. Ia pun diwajibkan pula bagi wanita yang tak
memiliki kekayaan apa pun untuk membiayai hidupnya dan dikhawatirkan kebutuhan
seksnya akan menjerumuskannya ke dalam perzinaan. Namun ia bersifat Sunnat
(Mandhubah) bagi seseorang yang memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan
tuntunan seksnya sehingga tidak akan terjerumus ke dalam bujukan syaitan namun
berkeinginan untuk memperoleh keturunan dan orang yang merasa bahwa dengan
menikah tak akan menjauhkannya dari pengabdiannya kepada Allah.
Meskipun demikian,
menurut mazhab Maliki, menikah merupakan kewajiban (Fardhu) bagi orang muslim
sekalipun mungkin dia tidak mamp memperoleh nafkah hidup, berdasarkan tiga
pernyataan berikut:
1.
Bila
tidak menikah dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zinah.
2.
Bila
dia tidak mampu berpuasa untuk mengendalikan hawa nafsunya, atau dia dapat
berpuasa namun puasanya tak mampu menolongnya menahan diri dari hawa
syahwatnya.
3.
Dia
tidak dapat menemukan budak wanita yang diberbolehkan baginya untuk menyalurkan
hasrat seksualnya.[4]
Beberapa ulama
tidak sepakat dengan hal ini dan mengingatkan bahwa dia tak mampu memperoleh
nafkah hidup halal maka dia tak boleh menikah. Dan bila dia tetap menikah tanpa
harapan memperoleh makanan yang halal, niscaya dia akan melakukan pencurian
atau perbuatan lain semacam itu. Dengan demikian, untuk menghindarkan satu
kejahatan justru dia menjadi korban dengan melakukan kejahatan yang lain.
Sedangkan
mazhab Hanafi menganggap menikah itu wajib berdasarkan empat persyaratan
berikut:
a.
Bila
seorang lelaki yakin akan berbuat zina kalau tidak menikah.
b.
Bila
dia tak mampu berpuasa atau sekalipun dia dapat berpuasa namun tetap tak
membantunya untuk mengendalikan nafsu syahwatnya. Tetapi bila puasa itu dapat
membantunya, maka dia diharuskan lebih baik wanita untuk digaulinya.
c.
Bila
dia tak mendapatkan budak wanita untuk digaulinya.
d.
Bila
dia mampu membayar mahar dan mampu memperoleh nafkah hidup yang halal. Namun
bila dia tidak mampu mendapatkan biaya hidupnya dengan halal, maka tak wajib
baginya menikah.[5]
Menikah
diharamkan kepada seorang lelaki kalau dia tak memiliki kekayaan untuk
membiayai istri dan anak-anak, atau dia menderita suatu penyakit yang cukup
gawat dan akan menular kepada istrinya dan keturunannya.
Dan dia menjadi
makruh bagi seorang lelaki yang tak memiliki keingingan seksual sama sekali
atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakini akan mengakibatkannya
lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah itu.
Nabi SAW telah
memerintahkan para pengeikutnya untuk memasuki ikatan perkawinan karena Beliau
SAW memiliki suatu tujuan tertentu bagi mereka. Adanya sebuah Hadis mengatakan.
“Diriwatkan dari Annas bahwa rasullullah SAW telah bersabda: “bila seseorang
hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan separuh dari ajaran agamanya,
maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam separuh sisanya.”[6]
Nabi SAW.
Menganggap bahwa menikah bagi seorang muslim sebaga “separuh dari agamanya”
karena hal itu akan melindunginya kekacauan, perbuatan akibat perzinahan, dan
kehidupan yang pada akhirnya akan menjeremuskan nya kedalam berbagai tindak
kriminal lainnya seperti timbulnya fitnah, pertikaian, pembunuhan, perampasan
hak milik, dan akhirnya mengakibatkan rusaknya tatanan kekeluargaan ideal yang
sangat ditekankan oleh Nabi Saw.
Menurut Nabi
Saw. separuh dari sisa kepercayaan yang melengkapi bagi separuh yang pertama
dapat diperoleh dengan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.
Dalam Hadist
yang lain. Rasullulah SAW telah menyebutkan bahwa hal terbanyak dapat dicapai
oleh seorang muslim menuju ketakwaan adalah amal shaleh dan menaati istri.
Diriwatkan dari
Abu Umamah, dari Nabi SAW bahwa Nabi SAW telah bersabda:
“Tiada memperoleh manfaat seorang mukmin setelah taqwanya kepada
Allah yang lebih baik baginya daripada istri Shaleh yang bila diperintahkan dia
(si istri) menantinya (suami), menyenangkan bila melihatnya, melaksanakan apa
yang diperintahkan padanya (kecuali dalam hal yang haram), dan bila suaminya
tak ada, dia dapat menjaga dirinya sendiri dan harus suaminya”.[7]
Nabi Sangat
menekankan pada keimanan, kesalehan dan kesungguhan sebagai kriteria utama
dalam memilih pasangan hidup. Beliau SAW. telah bersabda: Barangsiapa yang
menikah seorang wanita karena keturunnannya niscaya Allah akan merendahkan
kedudukannya , barangsiapa yang menikahi wanita karena kekayaannya niscaya
Allah akan mencabut hartanya namun barangsiapa yang menikahi yang menikahi
wanita dengan tujuan untuk menundukkan pandangannya melaksanakannya dengan
bijaksana dan menjaga hubungannya dengan baik niscaya Allah akan memberkati
hubungannya dengan istri dan hubungan istrinya dengan (suami)”. Dengan demikian
kesalehan dan keimanan merupakan tujuan paling utama dalam perkawinan.
Nabi SAW. juga telah bersabda: “Adanya tiga orang yang
dijanjikan Allah akan ditolong-Nya langsung.
Pertama orang
yang berusaha menebus dirinya (dari perbudakan): kedua orang yang menikah
dengan tujuan untuk menjaga kehormatanny: dan ketiga orang yang berjuang di
jalan Allah.[8]
C.
Bagaimana kufu (Pertunangan) ?
Setelah terjadi peminangan dan pinangan tersebut
diterima, maka secara tidak langsung kedua belah pihak dengan persetujuan
disertai kerelaan hati telah mengadakan perjanjian untuk melaksanakan
akad nikah. Dengan adanya perjanjian tersebut maka secara tidak langsung maupun
langsung calon mempelai telah terikat pertunangan. Masa antara penerimaan
pinangan dengan pelaksanaan akad nikah disebut sebagai masa pertungan. Dalam
masa ini, masih belum berlaku hukum suami istri, baik melakukan hubungan seks atau
hak dan kewajiban suami istri. Ketika calon suami memberikan sesuatu kepada
calon istri, adalah sama dengan pemberian biasa, tidak ada ikatan, dan
tidak wajib dikembalikan seandainya pertunangan diputuskan. Pertunangan adalah
semacam perjanjian biasa, Karen itu membatalkan pertunangan sama hukumnya
dengan membatalkan perjanjian biasa. Dalam hal ini para fuqaha berbeda
pendapat, yaitu:
1. Menurut madzhab Hanafi bahwa masing-masing pihak harus mengembalikan
kepada masing-masing, bila hadiah itu masih ada wujudnya, tetapi kalau sudah
tidak ada wujudnya maka tidak perlu diganti dengan uang.
2. Menurut madzhab Syafi’I bahwa para pihak peminang yaitu pihak laki-laki
berhak menerima kembali barang-barang yang telah diberikan pada pihak wanita
jika wujudnya masih ada dan harus diganti harganya jika barang-baang itu sudah
tidak ada wujudnya.
3. Menurut madzhab Maliki membedakankan pihak mana yang memutuskan
pertunangan, apabila yang memutuskan pihak laki-laki, maka pihak wanita tidak
berkewajiban mengembalikan hadiah-hadiah yang diterima, tetapi apabila yang
membatalkan wanita, maka pihak wanita wajib mengembalikan hadiah-hadiah
itu kepada pihak laki-laki.
Dari beberapa pendapat diatas pendapat madzhab
Malikilah yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku sekarang khususnya di
Indonesia dan mendekati dengan keadilan.[9]
D.
Syarat dan rukun nikah
Undangan-undangan
perkawinaan menetapkan beberapa syarat perkawinan. Dalam pasal 6 disebutkan: [10]
1.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2.
Untuk
melangsungkan peerkawinana seseorang harus mencapai umur umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang-tua
3.
Dalam
hal salah seorang dari kedua orang-tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup
diperoleh dari orang-tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam
hal kedua orang-tua telah meninggal dunia atau keadaan dalam tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh oleh wali, orang yg memlihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.
Dalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,3 dan 4
pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atau permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2,3, dan 4 pasal
ini.
6.
Selanjutnya
dalam pasal 7 disebutkan:” perkwaninan hanya dizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 191 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
A.
Rukun
Nikah
adalah unsur-unsur
yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri
atas:
a.
Calon suami, syaratnya
antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan
mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 19 tahun.
b.
Calon istri, syaratnya
antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal
bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 16 tahun.
c.
Sigat akad, yang terdiri
atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan
dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul
diucapkan wali mempelai laki-laki.
d.
Wali mempelai perempuan,
syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka
(tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali
inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari
Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa
izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai
berikut:
1)
Bapak
kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2)
Kakek,
yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3)
Saudara
laki-laki kandung.
4)
Saudara
laklaki sebapak.
5)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7)
Paman
(saudara laki-laki bapak).
8)
Anak
laki-laki paman.
9)
Hakim.
Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada,
sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim. .
e.
Dua orang saksi, syaratnya
laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak
sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang
dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
Sabda Nabi
Muhammad saw.:
Dari
Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali
dan dua orang saksi yang adil.”
(HR. Ibnu Hiban)
·
Adapun
Rukun Perkawinan menurut Islam adalah:
1.
Calon
pengantin pria.
2.
Calon
pengantin perempuan.
3.
Wali
nikah.
4.
Dua
orang sanksi.
5.
Sighat
(akad) ijab Kabul.
B.
Syarat-syarat
perkawinan adalah:
Untuk calon pengantin pria, syaratnya:
1.
Beragama
Islam
2.
Laki-laki
(bukan banci)
3.
Tertentu/jelas
orangnya.
4.
Tidak
terkena halangan perkawinan.
5.
Cakap
bertindak hukum untuk hidup berumah tangga
6.
Tidak
sedang mengerjakan haji atau umrah
7.
Belum
mempunyai empat orang istri
Untuk calon pengantin perempuan, syaratnya:
1.
Beragama
Islam (dulu termasuk wanita ahli kitab)
2.
Perempuan
(bukan banci)
3.
Tertentu/jelas
orangnya
4.
Dapat
diminta persetujuan
5.
Tidak
terkena halangan perkawinan
6.
Di
luar iddah (bagi janda)
7.
Tidak
sedang mengerjakan haji atau umroh
Untuk wali, syaratnya:
1.
Beragama
Islam
2.
Laiki-laki
3.
Adil
(tidak fasiq)
4.
Mempunyai
ha katas perwakilannya
5.
Tidak
terkena halangan untuk menjadi wali
6.
Tidak
sedang mengerjakan hati atau umroh
Untuk
saksi,syaratnya:
1.
Dua
orang laki-laki
2.
Beragama
Islam
3.
Mengerti
maksud akad perkawinan
4.
Hadir
pada saat ijab Kabul berlangsung
E.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Apabila
calon-calon mempelai telah melaksanakan akad nikah dan akad nikah ini telah
sah, maka disaat sahnya itu masing-masing mereka telah terikat oleh ikatan
perkawinan dan telah hidup sebagai suami istri. Kedua nya ditugaskan oleh
agama untuk mencapai tujuan-tujuan
perkawinannya, seperti melanjutkan ke turunan,menciptakan rumah tangga yang
bahagia yang diliputi cinta dan kasih sayang, berusaha mendidik anak sehingga
menjadi seorang muslim yang sempurna dan sebagainya.
Dalam mengatur
dan melaksanakan kehidupan suami istri untuk mencapai tujuan perkawinannya,
agama mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami istri.
Yang dimaksud
hak disini, ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami
atau istri yang di peroleh hasil dari perkawinannya. Hak ini hanya dapat
dipenuhi atau tidak dibayar oleh pihak yang lain. Dan yang dimaksud dengan
kewajiban disini, ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah
seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu pada umumnya dapat dibagi
kepada :
A.
Nafakah. C. Menyusukan anak.
B.
Hidhanah. D. Pergaulan suami
istri.
Nafakah
‘’berarti’’belanja’’,kebutuhan pokok’’. Maksud nya, ialah kebutuhan pokok yang
diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya. Mengingat banyaknya
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh
keluarga dan anggota-anggota keluarga,
maka dari kedua pendapat tersebut diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa yang
merupakan kebutuhan pokok yang minimum
itu, ialah pangan, sedang kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan
dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.
‘’Nafakah’’ ini adalah hak dari orang-orang yang mempunyai
nya, dan hak itu harus dipenuhi oleh orang-orang yang berkewajiban membayarnya.[11]
Adapun hak-hak Suami Istri sebagai berikut:
Hak istri yang menjadi berkewajiban suami dapat dibagi menjadi dua: hak-hak
kebendaan,yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaaan,
misalnya berbuat adil diantara para istri ( dalam perkawinan poligami ), tidak
berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.
Hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan
sebab menurut hukum islam istri tidak dibebani
kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup
berkeluarga. Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari
nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga yang baik.
Hal ini dimaksudkan agar istri dapat
mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang
saleh.[12]
F.
Wanita-Wanita Yang Haram Dinikahi
Islam
mengharamkan seorang laki-laki menikah dengan wanita-wanita tertentu (muhrim), mereka
sebanyak 14 (empat belas) orang:tujuh sebab keturunan (nasab), dua sebab
pertalian susuan (radla’ah), dan empat sebab perkawinan.[13]
Muhrim sebab keturunan (nasab)
a.
Ibu,nenek,dan
seterusnya garis keatas
b.
Anak
perempuan sendiri, cucu perempuan, dan seterusnya garis kebawah
c.
Saudara
perempuan (kandung atau seayah/seibu)
d.
Bibi
(saudara perempuan ayah)
e.
Bibi
(saudara perempuan ibu)
f.
Kemenakan
(anak perempuan dari saudara laki-laki) dan seterusnya
g.
Kemenakan (anak perempuan dari saudara
perempuan) dan seterusnya.
Muhrim sebab pertalian susuan (radla’ah)
a.
Perempuan
yang menyusui
b.
Saudara
perempuan yang sepersusuan.
Muhrim sebab perkawinan
a.
Ibu
mertua
b.
Anak
tiri yang ibunya telah dikumpuli
c.
Menantu
(istri dari anak)
d.
Ibu
tiri.
G.
Mengapa Putus nya Perkawinan
Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:
1. Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada
suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan
pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya
bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan
kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak
diberikan kepada isteri.
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah
sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu
2. Khulu’
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian
atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada
isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta
atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini
ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si
isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan
cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya
disebut juga dengan kata “iwald”.
3. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah
Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu
orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh
diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.
b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang
lain tidak mau berdamai.
4.
Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti
bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak
oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah
isteri.
5. Ta’lik talak
Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi
pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah
diperjanjikan lebih dahulu.
6. Ila’
Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak
melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’
mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah
untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu
isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung
berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya
tekatung-katung dan tidak berketentuan.
7. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan
ila’. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu
baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti
suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama
dengan ila’.
8. Li’aan
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya
terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri
untuk selama-lamanya.
9. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena
kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain
berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal. [14]
H.
Apa Akibat dari Rujuk Nikah
Adapun faktor-faktor
penyebab terjadinya rujuk adalah sebagai berikut:
1. Karena sewaktu bercerai suami berada dalam keadaan emosi yang tak stabil, sehingga tanpa sadar yang diakibatkan emosi yang bergejolak ia telah mengucapkan kata cerai terhadap istrinya.
2. Merasa kasihan dengan anak-anak mereka yang akanamenjadi korban bila mereka bercerai.
3. Masih saling mencintai antara suami dan istri.
4. Sadar akan tujuan awal mereka membina Rumah tangga.
5. Bujukan keluarga.
1. Karena sewaktu bercerai suami berada dalam keadaan emosi yang tak stabil, sehingga tanpa sadar yang diakibatkan emosi yang bergejolak ia telah mengucapkan kata cerai terhadap istrinya.
2. Merasa kasihan dengan anak-anak mereka yang akanamenjadi korban bila mereka bercerai.
3. Masih saling mencintai antara suami dan istri.
4. Sadar akan tujuan awal mereka membina Rumah tangga.
5. Bujukan keluarga.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Agama islam juga telah
menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah
hanya dengan pernikahn, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika
kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam
al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa
kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan
sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun
lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana
setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Smua hal itu akan
terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang
sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.
DAFTAR PUSTAKA
·
Soemiyati, Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997)
·
KH
Ahmad Azhar Basyir, MA, hukum perkawinan islam Yogyakarta, Maret 2000
·
A.Zuhdi
Muhdlor, Memahami hukum perkawinan Bandung, Maret 1994
·
Drs.Kamal
Mukthar, asas-asas hukum islam tentang perkawinan, PT bulan bintang,
Jakarta 1993
·
MUHDOR
ZUHDI, Memahami Hukum Perkawinan, Al-bayan, Bandung, maret 1994
·
Syaikh
Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita,
(Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)
·
Ahmad
Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah
press, 2006)
·
Prof. Abdul Rahman I. Doi, Ph.D,PERKAWINAN
Dalam SYARIAT ISLAM, PT RINEKA CIPTA, Jakarta 1996.
[1] Syaikh Kamil
Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita,
(Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998) hal.
375
[2] Ahmad Rafi
Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press,
2006) hal. 8
[3] Prof. Abdul
Rahman i. Doi, Ph. D, Perkawinan dalam Syariat Islam, PT RINEKA
CIPTA: Jakarta, 1996. hlm. 8.
[4] Prof. Abdul
Rahman i. Doi, Ph. D, Perkawinan dalam Syariat Islam, PT RINEKA
CIPTA: Jakarta, 1996. hlm. 9.
[5] Ibid.
[6] H.R.
[7] H.R.
[8] Prof. Abdul
Rahman i. Doi, Ph. D, Perkawinan dalam Syariat Islam, PT RINEKA
CIPTA: Jakarta, 1996. hlm. 11.
[9] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), hal. 28-29.
[10] MUHDOR ZUHDI,
,Memahami Hukum Perkawinan, Al-bayan, Bandung, maret 1994, hal 51-53
[11]
Drs.Kamal Mukthar, asas-asas hukum islam tentang perkawinan, PT bulan
bintang, Jakarta 1993, Hal 126
[12] KH Ahmad Azhar
Basyir, MA, hukum perkawinan islam Yogyakarta, Maret 2000,
Hal 53
[13] A.Zuhdi
Muhdlor, Memahami hukum perkawinan Bandung, Maret 1994, Hal 56
[14] Prof. Abdul
Rahman I. Doi, Ph.D,PERKAWINAN Dalam SYARIAT ISLAM, PT RINEKA
CIPTA, Jakarta 1996 hal. 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar