BAB I
PEMBAHASAN
A. TA’ARUDH AL-ADILLAH
1. Pengertian Ta’arudا al-Adhillah
Kata ta’arudh,
secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-Adhillah adalah
bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Bila ada suatu dalil
yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu ada
pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka
kedua dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum
islam disebut ta’arudh. [1]
adi, yang dimaksud dengan berbenturan dalil-dalil hukum adalah saling
berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu di antara dua dalil itu
menjadikan hukum yang ditunjukan oleh dalil lainnya.
Ta’arud al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil atau
antara satu dalil dengan dalil lainnya secara dzahir dengan derajat yang sama.
Maksud dari satu derajat yang sama adalah antara ayat dengan ayat atau antara
surat dengan surat.[2]
Selain itu yang dalam Ta’arudh
al-Adillah yang harus diperhatikan juga adalah pertentangan itu menyangkut
permasalahan yang sama dan di waktu yang sama, sebagaimana pengertian Ta’arudh
al-Adillah berikut: “Masing-masing dalil menghendaki hukum yang sama
terhadap satu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang
lain.[3]
Ini sesuai dengan
pendapat Asywadie Syukur bahwa menurut arti syara’ ialah berlawanannya dua nash
yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu
waktu.[4]
Seperti dalam riba’,
Rasulullah SAW bersabda:
لَا رِبً الَّا فِي
النَّسِيْئَةِ
Artinya: “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba
yang muncul dari utang-piutang).” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis diatas menyatakan bahwa tidak ada bentuk riba’
selain riba’ nasi’ah, padahal ada hadis lainnya tentang riba’ fadl,
seperti diterangkan dalam hadis:
لَا تَبِيْعُ الْبُرَّ
بِالْبُرِّ الَّا مِثْلًا بمِثْلٍ
Artinya: “jangan kamu jual gandum dengan gandum
kecuali dalam jumlah yang sama.” (HR. Bukhari Muslim dan Ibn Hambal)
Antara hadis yang pertama dengan hadis yang kedua
terjadi pertentangan dalam hukumnya. Hadis pertama membolehkan riba fadl,
dan hadis kedua mengharamkannya. Wahbah al-Juhili berpendapat bahwa 1 dalil
bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam memahami dan
menganalisisnya, serta sejauh mana kekuatan logikannya. Ia beralasan bahwa
tidaklah mungkin Allah SWT atau Rasulullah SAW menurunkan dalil yang saling
bertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya.
Contoh lain misalnya firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber`iddah) empat bulan sepuluh hari . . . (Q.S. 2, al-baqarah : 234)
Nash ini juga menghendaki keumumannnya, yaitu setiap
isteri yang ditinggal mati suaminya, iddah-nya akan selesai dengan masa
empat bulan sepuluh hari. Baik istri sedang hamil atau tidak.
Dan firmannya-Nya :
وَأُوْلَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya . . . (Q.S. 65, ath –thalaq :
4)
Nash ini juga
menghendaki keumumannnya yaitu bahwa setiap istri yang sedang hamil, iddah-nya
akan selesai lantaran melahirkan kandungannya. Baik dia itu karena ditinggalkan
suaminya atau karena di talak.[5]
Maka istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan
hamil adalah suatu peristiwa yang dikehendaki nash pertama agar iddahnya
selesai dengan menanti empat bulan sepuluh hari. Sedangkan nash kedua
menghendaki agar iddahnya selesai lantaran melahirkan kandungannya. Jadi dua
nash itu kontradiksi dalam peristiwa ini..
Begitu pula Imam
asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan
yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qathi’
(dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil zhanni (kebenaran
dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila
pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil
dalil yang lebih kuat kualitasnya, misalnya antara al-Quran dengan hadis, maka
yang diambil adalah al-Quran.[6]
Dari pengertian-pengertian di atas dapat kita ambil
kesimpulan bahwa dalam Ta’arudh al-Adillah terkandung:
·
Adanya dua dalil atau lebih
·
Menyangkut permasalahan yang sama
·
Mengandung ketentuan yang berbeda (bertentangan)
·
Dalil-dalilnya mempunyai derajat yang sama
·
Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu
2. Cara Menyelesaikan Ta’arudh
al-Adillah
Cara penyelesaian ta’arudh al-adillah yang
dikenal masyur dikalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut
dikemukakan oleh Hanafiyah dan jumhur ulama.
a. Menurut Ulama Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang
bertentangan adalah sebagai berikut:
a.
Nasakh, yaitu membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada
dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.
b.
Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang
bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut.
c.
Al-Jam’u wal al-Taufiq. Mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan
setelah mengumpulkan keduanya.
d.
Tasaquth al-Dalilain. Menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan
mencari yang lebih rendah, misalnya tidak dapat mengambil keterangan dari
al-Quran, maka akan diambil dari sunnah, jika masih betentangan maka diambil
metode qiyas.[7]
b.
Menurut Jumhur Ulama
Metode yang digunakan
oleh jumhur ulama, terdiri dari kalangan ulama-ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Zhahitiyah. Untuk menyelesaikan ta’arudh al-adillah, mereka menetapkan
kaidah bertahap (gradasi) dari point-point berikut:
a)
Al-Jam’u wat Tawfiq (penggabungan dan penyesuaian). Maksudnya menggabung
dan mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan tadi atau dengan kata lain,
mencari titik temu dari dalil-dalil tersebut. Karena, sepanjang dalil itu dapat
dijadikan hujjah, pada prinsipnya keberadaan dalil adalah untuk
diamalkan, bukan untuk diabaikan.
b)
Tarjih (mencari yang lebih kuat). Yakni mencari dalil yang lebih kuat,
misalnya pada hadis dilihat mana yang lebih kuat sanad dan matan (kualitas)
hadis tersebut maka itulah dalil yang dipakai untuk diamalkan.
Keterangan: penjelasan lebih lanjut
lihat bagian tarjih.
c)
Nasakh (menghapus). Artinya menghapus ketentuan hukum yang ditunjukkan
oleh dahulu terdahulu dengan hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang belakangan.
Misalnya: dalam satu kasus dalil A muncul pada awal Islam, sementara dalil B
muncul pada masa menjelang Rasul SAW wafat. Maka dalil B yang belakangan inilah
yang dijadikan hujjah.
d)
Tasaqut al-Dalalain (menggugurkan kedua dalil). Apabila ketiga cara
sebelumnya tidak ditemukan solusi, maka ulama tidak mengambil salah satu dalil
dari keduanya, melainkan mendiamkan (tawaqquf) sampai ditemukan
penyelesaian dalil tersebut.[8]
B. TARJIH
Ada dua definisi yang
dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
a. Menurut Ulama Hanafiyah :
اِفْهَاْرِزيَادَةٍ
لأحَدِ الْمُتَمَا ثِلَيْنِ عَلىَ الأخِربِمَا لاَيَسْتَقِدُ
Artinya: “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil
yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus
sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil
tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang
didukungnya.
b. Menurut Jumhur Ulama:
تَقِو يَةُ إِحْدَى اْلإِمارتين على ا لأَخْرى لِيَعْمَا ِبهَا
Artinya: “Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya
untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.[9] Dengan
pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni.
Menurut mereka, tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i.
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil
lainnya, yakni memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang
tampaknya berlawanan.
Sebelum melakukan tarjih
perlu diketahui syarat-syaratnya :
1. Yang menjadi
soal itu satu masalah tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji, maka semua
riwayatnya urusan haji.
2. Dalil-dalil
yang berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-Quran dengan al-Quran, dan
hadis mutawatir dengan hadis-hadis mutawatir pula.
` 3. Harus ada persesuaian
hukum antara keduanya baik waktunya, tempatnya, dan keadaannya. Misalnya
larangan jual beli sesudah ada azan Jumat, di waktu yang lain jual beli
dibolehkan.
Cara Pentarjihan
Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat
ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar
tiga tersebut, yaitu:
a. Tarjih ditinjau dari segi sanad:
·
Hendaklah dipilih
sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
·
Hendaklah dipilih
rawi-rawinya yang ahli fiqih dari pada yang bukan karena mereka lebih mengetahui maksud yang diriwayatkan.
·
Hendaklah dipilih yang
rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari pada yang lainnya.
·
Hendaklah dipilih
rawinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakannya karena
biasanya ia lebih mengetahuinya.
·
Hendaklah dipilih hadis
atau riwayat yang diceritakan, dan.
·
Hendaklah dipilih
rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi Saw.[10]
b. Tarjih ditinjau dari segi matan hadits:
·
Teks yang
mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah,
karena menolak segala kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil
manfaat.
·
Teks yang mengandung
perintah didahulukan daripada teks yang menunjukan kebolehan saja, karena
dengan melaksanakan perintah, hukum bolehnya telah terbawa sekaligus.
·
Makna hakikat dari
suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya, karena makna hakikat
tersebut tidak memerlukan indikasi lain untuk menguatkannya.
·
Dalil khusus lebih
didahulukan daripada dalil umum.
·
Teks umum yang belum
dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan daripada teks umum yang telah
dikhususkan (takhsis).
·
Teks yang sifatnya
perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
·
Teks yang muhkam lebih
didahulukan daripada teks yang yang mufassar, karena teks yang muhkam
lebih pasti dibanding teks mufassar.
·
Teks yang syarih (jelas)
didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran (kinayah).[11]
c. Tarjih ditinjau dari segi isi hadits
/madlul:
·
Mendahulukan isi yang mendekati
ihtiath (berhati-hati).
·
Mendahulukan yang
menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit ‘alan nafi).
·
Mendahulukan yang
mengandung pembatalan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
·
Mendahulukan yang hukumannya
ringan dari pada yang berat, dan
·
Mendahulukan yang
menetapkan hukum ashalatau Bara’ah ashliyah.[12]
d. Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar
hadits:
·
Didahulukan hadis yang
dibantu oleh dalil-dalil lain.
·
Didahulukan hadis qauliyah
dari pada fi’liyah, dan
·
Didahulukan hadits
(riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-Qur’an.[13]
C. QAWAIDUL FIQHIYYAH
1. Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah
Secara etimologis Qawaidul
Fiqhiyyah terbentuk dari dua suku kata, yaitu Qawa’id dan Fiqhiyyah.
Qawaid merupakan bentuk jamak (plural) dari qaidah yang berarti
dasar-dasar atau pondasi tertentu, baik dalam arti konkrit ataupun abstrak.
Sedangkan kata Fiqhiyyah diambil dari kata fiqh (الفقه) yang ditambah ya nisbat yang
berfungsi sebagai penjenisan atau pembangsaan. Secara etimologi (bahasa) makna fiqh
lebih dekat dengan ilmu. Dengan demikian secara etimologis Qawaidul
Fiqhiyyah dapat diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang dapat digunakan
untuk mengistinbat suatu hukum syara (fiqh).
Secara epistimologis
terdapat banyak pendapat ulama dalam mendefinisikan arti Qawaidul Fiqhiyyah,
di antaranya:
·
Menurut Musthafa Ahmad
al-Zarqa, “Qawaidul fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat
universal, menggunakan redaksi-redaksi singkat yang bersifat undang-undang,
serta mencakup hukum-hukum syara’ umum tentang peristiwa-peristiwa yang
masuk ke dalam ruang lingkupnya.[14]
·
Al-Jurani
mendefinisikan Qawaidul Fiqhiyyah dengan “ketetapan yang kulli
(menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”.[15]
·
Qawaidul fiqhiyyah disebut juga kaidah syari’iyah yang berfungsi
untuk memudahkan mujtahid mengistimbathkan hukum yang bersesuaian dengan
tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.
2. Sejarah Perkembangan dan Penyusuan
Qawaidul Fiqhiyyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan qawaidul
fiqhiyyah diklasifikasikan menjadi 2 stadium pembentukan dan 2 stadium
penyusunan (kodifikasi):
a.
Stadium Pembentukan
Pada stadium pembentukan, sulit dilacak
pencetus-pencetus kaidah-kaidah fiqhiyah, yang jelas kaidah-kaidah itu
dicetuskan oleh pakar-pakar fuqaha’ seperti Imam Mudzahib dan kemudian
diteruskan oleh ulama-ulama yang sesudah mereka dan dipindahkan dari mazhab
ke mazhab yang lain.
Kaidah fiqhiyaah yang mulanya merupakan surat
khusus atau semacam saran bagi yang memerlukan hukum.
“Tiada wewenang bagi imam untuk mengambil sesuatu dari
seseorang kecuali dengan dasar-dasar hukum yang berlaku.” (Hasbi as-Shiddiq,
1976: 435).
Kemudian dari saran itu
dapat juga dijadikan sebagai kaidah fiqhiyah pada fase berikutnya.
b.
Stadium Kodifikasi
Usaha-usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhyiyah
bertujuan agar kaidah-kaidah tersebut dapat berguna bagi perkembangan ilmu fiqhiyyah
pada masa-masa berikutnya, serta untuk mempertahankan loyalitas hasil ijtihad
para mazhabi, sehingga bagi pengikutnya tidak bermazhab bil qouli (hasil
ijtihad), namun yang lebih tepat adalah bermazhab bil manhaji (metodologinya).
Adapun Ulama-ulama yang berhasil
mengkodifikasi/menyusun kitab tentang Qawaidul Fiqhiyyah pada masa ini
adalah:
1)
Kalangan fuqaha’ Hanafiyah
Di antara penyusun kitab adalah: Abu Thahir ad-Dibas,
Imam Abu Zaid Abdullah Ibnu Umaruddin ad-Dabusy al-Hanafi, Zainul Abidin Ibnu
Ibrahim al-Mishry (926-970H), Ahmad Ibnu Muhammad al-Hamawy, dan Muhammad Abu
Said al-Khadimy.
2)
Kalangan fuqaha’ Malikiyah
Penyusun kitab di antaranya: Imam Juzaim, Syihabudin
Abil Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafy.
3) Kalangan fuqaha’
Syafi’iyah
Penyusun kitab di antaranya ialah: Imam Muhammad
Izzuddin ibnu Abdis Salam dan Imam Tajudin as-Subky.
4) Kalangan fuqaha’
Hambaliyah
Penyusun kitab kaidah di antaranya: Najmuddin
ath-thufy dan Imam Abdurrahman Rajab.
3. Tujuan dan Manfaat Qawaidul Fiqhiyyah
Para ulama menyusun qawaidul fiqhiyyah dengan
beberapa tujuan, antara lain:
a.
Untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga sebagai
barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk ruang lingkupnya.
b.
Untuk menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun
berbeda-beda merupakan satu jenis illat dan maslahat.
c. Untuk mempermudah fuqaha’
dalam menetapkan hukum perbuatan seorang mukallaf.[16]
Adapun manfaat (kegunaan) dari qawaidul fiqhiyyah, oleh
para ulama dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)
Dengan mengetahui qawaidul fiqhiyyah kita akan mengetahui asas-asas umum
fikih. Sebab qawaidul fiqhiyyah itu berkaitan dengan materi fikih yang
banyak sekali jumlahnya. Dengan qawaidul fiqhiyyah kita mengetahui
benang merah yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu dari masalah-masalah
fikih.
b)
Dengan memerhatikan qawaidul fiqhiyyahakan lebih mudah menetapkan hukum
bagi masalah-masalah yang dihadapi, yaitu dengan memasukan masalah tadi atau
menggolongkannya kepada salah satu qawaidul fiqhiyyah.
c)
Dengan qawaidul fiqhiyyahakan lebih arif di dalam memerepkanfikih dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d)
Dengan menguasai qawaidul fiqhiyyah, bisa memberikan jalan keluar dari
berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan
pendapat yang lebih mendekati kepada qawaidul fiqhiyyah.
e)
Orang-orang yang mengetahui qawaidul fiqhiyyahakan mengetahui
rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum Islam (ruh al-hukm) yang
tersimpul di dalam qawaidul fiqhiyyah.
f) Orang yang menguasai qawaidul
fiqhiyyahdi samping qawaidul ushuliyyah, akan memiliki keluasan
ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran.[17]
4. Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah
Pokok)
Al-Qawa’id
al-Khamsah adalah lima buah kaidah
yang oleh para ulama fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan
kaidah-kaidah fiqih lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang
sangat luas terhadap hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup
seluruh kaidah-kaidah fikih yang ada. Mengingat pentingnya al-Qawa’id
al-Khamsah ini maka dalam setiap buku/kitab tentang kaidah fiqih pasti di
dalamnya terdapat “kelima kaidah” ini.
Kelima kaidah tersebut
adalah:
a) الأُمُورُ
بِمِقَاصِدِهَا
“Segala perbuatan tergantung niatnya”
Para ulama telah
sepakat bahwa suatu perbuatan ibadah tidak sah tanpa disertai niat (kecuali
dalam beberapa hal saja yang termasuk pengecualian). Itu artinya dalam setiap
perbuatan mukallaf (baik dalam ibadah mahdah ataupun ghairu mahdah) perlu
disertai dengan niat.
Terhadap pentingnya
niat ini, Imam al-Suyuthi menyatakan: “Apabila kau hitung masalah-masalah
fikih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau
seperempatnya.[18]
b) الضَّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan (harus) dihilangkan”
Menurut Ahmad al-Nadwi,
penerapan kaidah “al-dhararu yuzaalu” ini meliputi lapangan yang sangat
luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari
materi fikih yang ada. [19]Hal
ini karena dalam setiap hukum yang ditetapkan oleh syariat Islam selalu
bertujuan untuk menarik manfaat atau menolak mudharat. Adapun kaidah tersebut
bertujuan mewujudkan salah hal tersebut (yaitu menolak mudharat).
c) العَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
“Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum”
Yang dimaksud dengan adat
adalah membiasakan sesuatu yang dapat diterima oleh tabi’at yang sehat dan
mengulang-ulangnya. Dalam hal ini Adat identik dengan ‘urf ‘amali (tradisi/kebiasaan.[20]
Adapun adat yang bisa dipertimbangkan
dalam menetapkan hukum adalah al-adah al-shahihah (adat yang sahih,
benar, dan baik). Yaitu apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara
umum dan dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Hal yang harus dipehatikan dalam memutuskan
hukum/perkara dengan adat adalah:
1)
Mempertimbangkan keadaan kasus itu sendiri (seperti apa kasusnya, waktu,
tempat, pelaku, sebab, dan bagaimana proses kejadiannya).
2)
Mempertimbangkan hukum. Dalam mempertimbangkan hukum ini terutama terutama
hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam nash, maka adat dapat
dijadikan pertimbangan.[21]
d) المَشَقَّةُ تَجْلِبُ
التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna kaidah tersebut
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukallaf, maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu
melaksanakannnya tanpa kesulitan dan kesukaran.[22]
Dasar dari kaidah ini
adalah bahwa ajaran Islam tidak menghendaki sesuatu yang memberatkan/membebani
umatnya. Dimana Allah tidak akan membebani seseorang dengan sesuatu di luar
kemampuannya. Demikian pula dengan segala yang diperintahkan Rasulullah SAW
kepada umatnya, semata-mata untuk kemudahan menjalankan ajaran agama.
e) اليَقِيْنُ
لَايُزَالُ بِالشَّكِ
“keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan.”
Kaidah ini sangat
penting dalam hukum Islam. Tujuannya adalah untuk memudahkan penerapan hukum
Islam, dengan cara menghilangkan keragu-raguan. Karena keragu-raguan yang
timbul dapat mempersulit mukallaf dalam menjalankan kewajiban. Contohnya
seseorang yang ragu-ragu apakah ia berhadats atau tidak, maka ia boleh
meninggalkan keragu-raguan (bahwa ia berhadats) dan meyakini kondisi asal
dirinya (yaitu suci).
5. Qawaidul Fiqhiyyah yang Umum
(Al-Qawaid Fiqhiyyah Al-‘Ammah)
Qawaidul fiqhiyyah yang umum adalah kaidah-kaidah fikih yang yang cakupannnya meliputi
berbagai cabang ilmu fikih. Kaidah-kaidah tersebut yaitu:
1) الإِجْتِهَادُ لَا يَنْكُضُ
بِالإِجْتِهَادِ
Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian.
2) التَّابِعُ تَابِعٌ
Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti
3) التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُطِ
الْمَتْبُوعِ
Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti
4) التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ
الْمَتْبُوعِ
Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti
5) يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا
يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lain
6) التَّابِعُ لَا يُفْرَدُ بِالحُكْمِ
Pengikut itu menyendiri di dalam hukum
7) اذَاجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ
وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الآخَرِ غَالِبًا
Apabila bersatu dua
perkara dari satu jenis dan maksudnya tidak berbeda, maka hukum salah satunya
dimasukan kepada hukum yang lainnya
8) الرِّضَى بِالشَّيْءِ رِّضَى بِمَا
يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Ridha atas sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari
sesuatu tersebut.
9) لَا يُنْسَبُ إِلَى سَاكِتٍ قَوْلٌ
وَلَكِنَّ السُّكُوْتَ فِي مَعْرَضِ الْحَاجَهةِ إِلِى الْبَيَانِ بَبَانٌ
Perkataan tidak bisa
disandarkan kepada yang yang diam, tetapi sikap diam dalam hal yang membutuhkan
keterangan adalah merupakan keterangan.
10) الوَاجِبُ
لَا يُتْرَكُ اِلَّا لِوَاجِبٍ
Sssuatu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu
yang wajib lagi
11) مَالَا
يَتِمُّ الوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sesuatu kewajiban yang
tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu
hal itu hukumnya wajib pula.
12) مَا حَرُمَ
إِسْتِعْمَالُهُ حَرُمَ إِتِّخَاذُهُ
Apa yang haram digunakan, haram pula didapatkan
13) مَا حَرُمَ
أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاءُهُ
Apa yang haram diambil, haram pula diberikan
14) المَشْغُوْلُ
لَا يُشْغَلُ
Sesuatu yang sedang
dijadikan obyek berbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan obyek perbuatan
lainnya.
15) يُقْبَلُ
قَوْلُ المُتَرَجِّمُ مُطْلَقًا
Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat
16) النِّعْمَةُ
بِقَدْرِ النِّقْمَةِ وَ النِّقْمَةُ بِقَدْرِ النِّعْمَةِ
Kenikmatan disesuaikan
dengan kadar jerih payah dan jerih payah disesuaikan dengan kenikmatan
17) لَا
مَسَاغُ لِلْإِجْتِهَادِ فِى مَوْرِدِ النَّصِّ
Tidak diperkenanakan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya
18) المَيْسُرُلَا
يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar
dijalankan
19) يُدْخِلُ
الْقَوِيُّ عَلَى الضَّعِيْفِ وَلَا عَكْسَ
Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya
20) الحَقَانِ
المُخْتَلِفَانِ لَا يَتَدَاخَلَانِ
Dua hak yang berbeda tidak saling menyerap
21) مَاحُرِمَسَدًّ
لِلذَّرِيْعَةِ أُبِبْحَ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ
Apa yang diharamkan
karena sadd al-dzari’ah (menutup jalan kepada yang mafsadah), dibolehan karena
adanya kemaslahatan yang lebih kuat
22) الحُقُوْقُ
لَا يَجُوْزُ فِيْهَا إَلَّا مَا يَجُوْزُ فِى الْحُكْمِ
Hak tidak bisa ditetapkan kecuali yang ditetapkan oleh hukum
23) الإِشَارَةُ
تَقُوْمُ مَقَامَ العِبَارَةِ
Tanda/isyarat menduduki kedudukan pernyataan yang diucapkan
24) إِذَا
زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوْعُ
Apabila suatu
penghalang telah hilang maka hukum yang dihalanginya kembali seperti semula
25) الحَرِيْمُ
لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
Hukum untuk menjaga sesuatu sama dengan yang dijaga
26) دَلِيْلُ
الشَّيْءِ فِى الْأُمُوْرِ البَاطِنَةِ يَقُوْمُ مَقَامَهُ
Petunjuk sesuatu pada unsur-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan
sebagai dalil
27) ذِكْرُ
البَعْضِ مَا لَا يَتَجَزَّء كَذِكْرِ كُلِّهِ
Menyebutkan sesuatu yang tidak bisa dibagi, seperti menyebutkan
keseluruhannya
28) مَا
تُشْتَرَطُ فِيْهِ عِدَّةُ شَرَائِطَ يَنْتَفِي بِانْتِفِاءِ إِحْدَاهَا
Apa yang disyaratkan
padanya beberapa syarat (syarat kumulatif) maka hal tersebut menjadi tidak
berlaku dengan tidak ada salah satunya
29) يَلْزَمُ
مُرَاعَةُ الشَّرْطِ بِقَدْرِ الْإِ مْكَانِ
Diharuskan menjaga syarat sesuai dengan kemampuan
30) مَنْ
مَلَكَ شَيْئًا مَلَكَ مَا هُوَ فِى ضَرُوْرَتِهِ
Barangsiapa yang memiliki sesuatu, maka dialah kebutuhannya
31) الإِشَارَةُ
المَعْهُوْدَةُ لِلأَحْرَاسِ كَالْبَيَانِ بِاللِسَانِ
Isyarat yang diketahui
yang biasa dilakukan oleh orang bisu sama kedudukannya dengan penjelasan dengan
lisan
32) كُلُّ
شَرْطِ مُخَالِفُ أُصُوْلَ الشَّرِيْعَةِبَاطِلٌ
Setiap syarat yang menyalahi dasar-dasar syariah adalah batal
33) مَنْ
اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
Barang siapa
mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat
sesuatu tersebut
34) المُعَلَّقُ
بِالشَّرْطِ يَجِبُ ثُبُوْتُهُ عِنْدَ ثُبُوْتِ الشَّرْطِ
Sesuatu yang digantung kepada sesuatu syarat, wajib adanya ketika adanya
syarat
35) لَا يُنْزَعُ
شَيْئٌ مِنْ يَدِ اَحَدٍ إِلَّا بِحَقٍّ ثَابِتٍ
Sesuatu hak tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar
ketentuan yang tetap
36) الإِكْرَاهُ
يَسْقُطُ أَثَرَ التَّصَرُّفِ فِعْلًا كَانَ أَوْ قَوْلًا
Keadaan dipaksa
menghilangkan pengaruh/akibat tindakan hukum baik perbuatan maupun perkataan
37) كُلُّ
تَصَرُّفٍ تَقَاعَدَ عَنْ تَحْصِيْلِ مَقْصُوْدِهِ فَهُوَ بَاتِلٌ
Setiap tindakan hukum yang menggagalkan berhasilnya yang dimaksud adalah
batal
38) كُلُّ حَقٍ
وَجَبَ عَلَيْهِ فَلَا يُبَر ِّئُهُ مِنْهُ إِلَّا أَدَائِهِ
Setiap kewajiban yang
dibebankan kepada seseorang maka dia tidak terbebas dari kewajibannya kecuali
ia melaksanakannnya.[23]
Selain al-Qawa’id al-Khamsah dan al-Qawa’id
al-‘Ammah masih ada lagi kaidah-kaidah fikih yang cakupannya lebih sempit.
Yaitu kaidah yang hanya berlaku dalam cabang-cabang fikih tertentu saja.
misalnya kaidah untuk ibadah mahdhah, kaidah khusus dalam muammalah,
kaidah khusus tentang hukum pidana, dan sebagainya. Kaidah-kaidah ini dinamakan
qawa’id fiqhiyyah al-khashshah (kaidah-kaidah fikih khusus).
6. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyyah Menurut
Ulama
a. Mazhab Hanafi
Ulama Mazhab Hanafi
merupakan kalangan yang pertama kali mengkodifikasikan qawaidul fiqhiyyah. Mereka
membentuk prinsip-prinsip umum fikih (fiqhiyyah kulliyah) ke dalam
kaidah-kaidah, kemudian berhujjah dengannya.
Berkaitan dengan
kehujjahan qawaidul fiqhiyyah, golongan mazhab Hanafi terbgi menjadi dua
kelompok.
1) Kelompok
pertama, seperti Ibnu Nujaim dan al-Hamawi berpendapat bahwa qawaidul
fiqhiyyah tidak dapat dijadikan hujjah, meskipun didukung oleh nash,
karena sifatnya yang aghlabiyyah (mayoritas) saja bukan kulliyyah (universal).
2) Kelompok
kedua, seperti al-Karhi, al-Sarakhsi dan al-Dabusi berpendapat bahwa qawaidul
fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai hujjah apabila didukung oleh nash
yang jelas (konkrit).[24]
b. Mazhab Maliki
Kalangan mazhab Maliki
mengkodifikasikan qawaidul fiqhiyyah pada waktu yang hampir bersamaan
dengan ulama mazhab Hanafi. Mazhab Maliki yang dimotori oleh tokoh-tokohnya
seperti al-Qarafi, al-Syathibi, Ibnu Farhun, dan al-Bannani menjadikan qawaidul
fiqhiyyah yang didukung oleh nash Al-Quran dan Sunnah sebagai hujjah.[25]
c. Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’i,
mayoritas fuqaha’ Syafi’i menerima qawaidul fiqhiyyah yang
disepakati sebagai hujjah. Ke-hujjah-an ini terutama ketika
menghadapi persoalan yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh nash
Al-Quran dan Sunnah.[26]
d. Mazhab Hambali
Para fuqaha’
mazhab Hambali menggunakan qawaidul fiqhiyyah sebagai hujjah atau
dalil dalam menetapkan sebuah hukum, terutama kasus-kasus yang tidak dijelaskan
hukumnya oleh nash (al-Quran dan Sunnah). Namun demikian, ada indikator yang
menunjukan bahwa mereka mendahulukan hadits dha’if (lemah) daripada qawaidul
fiqhiyyah.[27]
BAB III
PENUTUP
A Kesimpulan
·
Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi
disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas
kasus itu, maka kedua dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam
istilah hukum islam disebut ta’arudh.
·
Cara menyelesaikan ta’arudh al-adillah yaitu: Nasakh (membatalkan
dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang
mengandung hukum yang berbeda); Tarjih, yaitu menguatkan salah satu
dalil dari dua dalil yang bertentangan; Al-Jam’u wal al-Taufiq, yaitu
mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya;
dan Tasaquth al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan.
·
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni
memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya
berlawanan.
·
Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat ditinjau dari segi sanad,
matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu: Tarjih
ditinjau dari segi sanad, Tarjih ditinjau dari segi matan hadits, Tarjih
ditinjau dari segi isi hadits /madlul, Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang
diluar hadits.
·
Qawaidul Fiqhiyyah dapat diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang dapat
digunakan untuk mengistinbat suatu hukum syara (fiqh).
·
Al-Qawa’id al-Khamsah adalah lima buah kaidah yang oleh para ulama
fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan kaidah-kaidah fiqih
lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas terhadap
hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup seluruh kaidah-kaidah
fikih yang ada.
·
Qawaidul fiqhiyyah yang umum adalah kaidah-kaidah fikih yang yang
cakupannnya meliputi berbagai cabang ilmu fikih.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis. Jakarta: Kencana.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum
Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta:: PT RajaGrafindo Persada.
Rifa’i, Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.
Rohayana, Ade Dedi.
2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Gaya
Media Utama.
Suhartini, Andewi.
2009. Ushul Fiqih. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI.
Syafe’i, Rachmad. 2007.
Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syukur, M Asywadie.
1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Uman, Chaerul dan Aminudin,
Achyar. 2000. Ushul Fiqh 1: Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Uman, Khairul dan
Aminudin, Achyar. 1991. Ushul Fiqih II. Bandung: CV Pustaka Setia.
Usman, Muhlish.1997. Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.
Zuhaily, Syeikh Wahbah. 1986. Ushul
al-Fiqh al-Islamy. Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr.
[4] M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1990), hlm. 266.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu
Ushul Fiqh), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996) hlm. 382
[6] Ibid, hlm.
226.
[8] Syeikh Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Juz 2, hlm. 182-1184
[11] Chaerul Uman., dkk, Ushul Fiqh 1: Untuk Fakultas
Syariah Komponen MKDK, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) hlm 206
[14] Ade Dedi Rohayana.Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Jakarta: Gaya Media Utama, 2008) hlm. 10
[15] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah
Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta:
Kencana, 2007) hlm. 3
[17] A. Djazuli, op.cit., hlm. 26.
Winstar World Casino and Resort in Carson City - MJH Hub
BalasHapusWinstar World Casino and Resort - Carson City - Contact Information 김해 출장샵 · 강릉 출장마사지 Phone: (951) 722-5500 · From Map 양주 출장샵 · 강릉 출장샵 Contact Us · Hotel Amenities · 경기도 출장안마 More Info.
you could try these out cheap wigs human hair,wigs online,hair extensions,wigs,hair toppers,wigs for women,Lace Wigs,human hair toppers,hair pieces for women company website
BalasHapus